Inspirasi Khutbah Idul Fitri

Hadirin kaum muslimin yang berbahagia.
Ibarat seorang musafir yang sedang menempuh perjalanan jauh dan sangat meletihkan, perjalanan yang mendaki, menurun, berliku dan penuh dengan berbagai rintangan. Di tengah perjalanan ia mencoba berhenti sejenak, duduk di bawah sebuah pohon yang rindang, untuk kemudian ia mencoba merenung dan bertanya pada dirinya sendiri: “Sudah berapa jauhkah perjalanan yang telah dilaluinya ? Dan masih berapa jauh lagi perjalanan yang harus ditempuhnya?” Yang terpenting bagi musafir tadi untuk ditanyakan kepada dirinya adalah: “Apakah selama ini ia telah menempuh jalan yang benar ataukah ia telah melangkah di jalan yang sesat ? Sehingga sebenarnya ia tidak akan pernah sampai kepada titik tujuan yang menjadi cita-citanya!
Hadirin kaum muslimin yang berbahagia
Bila saja tamsil musafir tadi kita coba ibaratkan ke dalam kehidupan kita, maka tidak ada salahnya, bahkan tepat sekali rasanya, bila di hari yang sangat mulia dan berbahagia ini, di tengah-tengah suasana hati dan lidah kita yang selalu bertasbih, bertahmid, bertahlil dan bertakbir, kita mencoba merenung, bertafakkur dan melakukan introspeksi diri: “Sudah berapa jauhkah perjalanan hidup yang telah kita lalui ? Dan masih berapa jauh lagi perjalanan hidup yang harus kita lewati ?
Namun yang paling penting kita tanyakan pada diri kita masing-masing adalah, sebagaimana yang ditanyakan musafir tersebut pada dirinya: “Apakah selama sekian tahun hidup di alam dunia ini, kita telah menempuhnya dengan jalan yang benar ? Atau, kita telah menempuhnya dengan jalan yang sesat ? Sehingga apa yang menjadi titik tujuan terakhir dari perjalanan hidup kita yaitu mencapai “Mardhatillah” (Ridha Allah SWT) masih harus kita pertanyakan kembali kepada diri kita masing-masing!
Hamba-Hamba Allah Yang Berbahagia
Tidak terasa bulan Ramadhan telah berlalu. Kenangan manis keakraban ruh dengan ibadah masih segar di ingatan. Rasanya baru kemarin kita merasakan nikmatnya berbuka, ramainya mesjid  dengan sholat tarawih, bisingnya suara yang berlomba mengkhatamkan Alquran sebanyak mungkin, ringannya tangan bersedekah dan memberi, serta kebaikan-kebaikan yang lain.
Namun seiring datangnya Ied, semua perilaku dan kebiasaan baik itu juga ikut menghilang. Kebaikan berubah menjadi keburukan. Amal soleh menjadi dosa. Mata dan telinga kembali bebas menikmati yang dilarang. Mulut kelu untuk mengaji tetapi leluasa membicarakan aib orang lain. Kaki begitu berat melangkah ke mesjid untuk berjama’ah. Tangan menjadi kaku untuk berbagi. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali…” (An-Nahl ayat 92)
Ayat ini sepertinya menyindir kita yang kembali kepada keburukan setelah kebaikan, maksiat setelah ta’at, kufur setelah syukur, syirik setelah iman. Allah menyindir kita akan janji-janji yang telah diikrarkan namun diingkari, menyindir semangat ibadah yang dulu ada namun telah pudar, menyindir taubat yang pernah terucap namun sekarang hilang tak berbekas. Hilang dengan perginya Ramadhan.
Beberapa hari ke depan, masihkah masjid-masjid dipadati jamaah hingga meluber ke halaman, bahkan ke jalanan? Masihkah kita harus antre mengambil wudhu untuk shalat zuhur dan ashar karena padatnya jamaah? Masihkah shaf jamaah subuh memenuhi sudut-sudut masjid?
Beberapa hari ke depan, masih mungkinkah kita mendengar alunan ayat-ayat suci al Quran lepas shalat isya dari pengeras suara masjid-masjid? Masihkah lantunan kalam Ilahi itu mengalir dengan deras dan bersahut-sahutan dari satu masjid ke masjid yang lain?
Beberapa hari ke depan, masih bisakah kita duduk semeja dengan seluruh anggota keluarga untuk menyeruput teh manis hangat, sambil menikmati aneka penganan? Masihkah keakraban dan kehangatan keluarga seperti itu kita nikmati.  Mungkinkah juga seluruh anggota keluarga kembali bertemu di meja makan untuk menyantap sahur saat subuh menjelang?
Beberapa hari ke depan, masihkah sandal-sandal berserakan di halaman dan tangga-tangga masjid menanti dengan setia para pemiliknya menuntaskan taraweh dan qiyamul lail? Masihkah kita mendengar suara syahdu imam shalat yang tengah membaca ayat demi ayat al Quran yang menentramkan jiwa?
Beberapa hari ke depan, masihkah kotak-kotak amal di masjid dan mushola menjadi lebih bergairah karena  nyaris dijejali sumbangan jamaah? Masihkah zakat, infaq, dan sedekah menghiasi tangan-tangan kita yang lebih suka berada di atas ketimbang di bawah? Dapatkah kita melihat wajah-wajah sumringah kaum dhuafa karena pemenuhan kebutuhan primer mereka menjadi lebih ringan akibat sedekah kita?
Beberapa hari ke depan, masihkah bisa kita saksikan pakaian hijab menutupi tubuh wanita-wanita muslimah kita? Ataukah mereka kembali ke habitat awal dengan memakai pakaian serba ketat dan transparan seolah mereka mengatakan bahwa dengan memakainya mereka kembali ke dunia modern? Saudariku, sungguh indah jawaban dari seorang doktor Muslimah berjilbab ketika diwawancarai wartawan asing yang menyatakan pakaiannya itu tidak mencerminkan pengetahuannya. Mereka berkesimpulan Jilbab itu simbol keterbelakangan dan kemunduran. Dia menjawabnya dengan cerdas dengan mengatakan, Manusia di masa awal hampir telanjang, bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan mulai mengenakan busana. Apa yang saya kenakan hari ini sebenarnya adalah lambang kecanggihan dan kemajuan berpikir yang telah dicapai manusia berabad-abad lamanya Adapun ketelanjangan yang ada sekarang adalah simbol keterbelakangan dan kembalinya manusia kepada kebodohan. Seandainya ketelanjangan itu simbol kemajuan maka bisa dikatakan para binatang itu telah mencapai puncak peradaban.
Hamba-Hamba Allah Yang Berbahagia
Karenanya, memasuki Idul Fitri yang berarti jiwa kita menjadi suci, maka ‘tampilan’ kita harus lebih Islami. Termasuk dalam ‘tampilan’ di sini adalah tujuan, orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran), akhlak, moral, perilaku, interaksi, aktivitas, kiprah, dan peran. Baik ‘tampilan’ keindividualan kita, kerumahtanggaan kita, maupun ‘tampilan’ kesosialan kita. Baik ‘tampilan’ dalam kesendirian kita maupun ‘tampilan’ dalam keramaian kita.
Ketika terjadi islamisasi ‘tampilan’ pasca Ramadhan, berarti ini merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah SWT menerima amal seseorang, maka pasti Dia akan menolongnya untuk mengadakan perubahan diri ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal kebajikan.
Saudara-saudariku...
Segera  setelah salat ‘Id, pancangkanlah tonggak silaturahmi  dalam perjalanan sejarah kita. Selama ini, kita telah menanam pohon penuh duri di tengah jalan raya kehidupan. Semua orang yang  melewati kita, kita tusuk mereka dengan duri-duri tajam kita, kita sakiti hati mereka. Kita cabik-cabik  perasaan mereka dengan keangkuhan kita.  Makin sering orang-orang itu hadir di depan kita, makin banyak  luka-luka dalam jantungnya, makin banyak rintihan dan tangisannya. Di antara mereka itu adalah orang tua kita.  Temuilah mereka,  kalau mereka masih hidup.  Kita boleh jadi kecewa karena perilaku mereka. Marilah kita maafkan mereka dengan sepenuh hati. Kenanglah beban yang mereka tanggung untuk  melahirkan kita dan membesarkan kita. Bersimpuhlah di hadapan mereka,  bahagiakan mereka, sehingga kita melihat lagi di wajah-wajah mereka senyuman tulus yang menyejukkan hati.  Mohonkan maaf kepada mereka karena selama ini ucapan dan perilaku kita telah melukai mereka.
Setelah itu,  pusatkan perhatian kepada orang-orang di sekitar yang selama ini kita  sakiti karena ambisi, yang kita campakkan karena arogansi,  yang kita sia-siakan karena  kerakusan,  atau yang “sekedar” kita abaikan karena kesibukan. Mereka itu pasanganmu, anak-anakmu, tetanggamu, sahabatmu, seluruh umat manusia dan seluruh alam. Mereka adalah anggota dari keluarga besar Tuhan. Mereka  bukanlah orang  yang bisa kita manfaatkan sekehendak hati kita. Mereka adalah orang yang dihadirkan Tuhan  untuk kita cintai dengan sepenuh hati. 
Di antara mereka, yang secara khusus Allah SWT titipkan kepada kita, adalah  orang-orang yang menderita, orang lemah, kaum fuqara dan masakin.  “Temui Aku di tengah-tengah orang yang hancur hatinya” firmah Tuhan yang Mahakasih. “Cari aku di tengah-tengah kaum dhu’afa kalian,” sabda Nabiyur Rahmah. 
Buka hatimu,  pancarkan kasihmu,  sirami  semuanya dengan cintamu, bagikan kebahagianmu  kepada mereka.   Sambungkan pita-pita cintamu dengan pita-pita cinta semua orang, sehingga seluruh alam semesta didekap dalam belitan cinta! “Sayangi semua orang yang di bumi, akan sayang kepadamu Dia yang di Langit, “ Sabda Nabi saw. 
Marilah kita masukkan kasih sayang dalam keberagamaan kita, dalam keislaman kita. Karena itulah roh keislaman kita.  Itulah roh keimanan kita. Jadikan Lebaran ini  kembalinya lagi Islam setelah tinggal namanya, masuknya lagi al-Quran setelah tersisa  aksaranya,  bersinarnya lagi petunjuk Tuhan di masjid-masjid dan  tegaknya lagi wibawa para ulama setelah kehilangan ketauladannya. 


NB. Disarikan dari berbabgai sumber

Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Comments

Recent

About Me

Foto saya
Kita tidak akan mendapatkan hasil berbeda, jika tetap melakukan hal yang sama...

Bottom Ad [Post Page]

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Full width home advertisement