STOP FIGHTING, LET IT FLOW.
---
Terkadang, yang paling melelahkan bukanlah rasa sakit itu sendiri, tapi usaha tanpa henti untuk melawannya, melawan luka yang belum sempat sembuh, melawan kenangan yang selalu datang tanpa diundang, melawan diri sendiri yang ingin terlihat kuat padahal nyaris runtuh.
Seperti Po si Panda, yang akhirnya mengerti bahwa ia ditinggalkan bukan karena tak dicintai, tapi justru karena cinta ibunya terlalu besar, dan dari kesadaran itu, ia berhenti melawan takdir dan mulai berdamai dengannya.
Karena sesungguhnya, keberanian tak selalu berarti melawan. Ada kalanya, keberanian sejati adalah saat kau duduk diam, menatap luka, membiarkan air mata turun, lalu dengan lembut berkata pada dirimu sendiri: "Sudah, cukup. Kamu tak harus kuat terus-menerus. Stop fighting… let it flow." Dan justru di sanalah, di titik rapuh dan paling rendah itulah, perubahan besar bisa dimulai.
“IA TIDAK AKAN MUDAH DITEMUKAN”
Dalam gelapnya zaman yang sarat kelaliman, manusia terus mencari terang. Namun terang itu bukan lagi pelita yang bersinar, ia tersembunyi, redup dari pandangan dunia. Bukan karena ia lemah, tapi karena dunia belum siap untuk menerimanya.
Pemimpin akhir zaman, bukan sosok flamboyan yang dielu-elukan, bukan selebritas spiritual yang namanya menembus algoritma sosial media. Justru, semakin dunia menenggelamkan dirinya dalam manipulasi kekuasaan global, semakin licik mereka menutupi jejak sang pemimpin sejati. Karena mereka tahu; jika sosok itu ditemukan, bangunan kezaliman yang selama ini mereka pertahankan akan runtuh seketika. Sistem yang mereka bangun dengan propaganda, akan hancur oleh satu hal; kebenaran.
Ia adalah musuh abadi para tiran. Karena ia tak bisa dibeli. Ia tak tunduk pada kekuasaan. Dan jika ia muncul terlalu dini, konspirasi besar dunia tak akan ragu untuk mengeliminasi. Maka Tuhan melindunginya… dengan kesederhanaan. Dengan ketidakterkenalan. Dengan diam yang menggetarkan.
Mungkin ia sedang bersama para fakir, mengusap luka mereka. Mungkin ia ada di balik dinding-dinding yang senyap, menyalakan lentera iman. Atau mungkin, ia masih berjalan sendirian, mencari umat yang cukup tenang untuk mengerti, cukup jernih untuk percaya, dan cukup berani untuk ikut menyongsong perlawanan tanpa kekerasan.
Bukan dengan pedang. Tapi dengan cahaya.
Dan ketika akhirnya ia menampakkan diri, bukan dengan sorak, bukan dengan genderang kemenangan, melainkan dengan wajah tenang dan langkah yang seolah telah lama ditunggu, maka bumi akan berguncang. Bukan karena teriakan perang, tapi karena hati manusia mulai sadar; inilah dia, yang selama ini tak mereka lihat, karena terlalu sibuk melihat ke arah yang salah.
Ia datang bersama setiap jiwa yang selama ini tertindas, tertipu, dan terluka. Mereka akan merapat, satu demi satu, bukan karena dipaksa, tapi karena nurani mereka mengenalnya, bahkan sebelum mata mereka melihatnya. Ia adalah gema dari doa-doa malam, dari tangis-tangis sepi yang tak pernah terdengar oleh dunia.
Namun, ketika ia muncul, lawan-lawan kegelapan tidak akan tinggal diam.
Sistem global akan berguncang. Media akan memutarbalikkan namanya. Para penguasa zalim akan membingkainya sebagai ancaman. Mereka akan menyebutnya sesat, radikal, bahkan pemecah belah perdamaian. Karena mereka tahu, jika rakyat mencintainya, tidak ada kekuatan apapun yang bisa menghentikannya.
Akan ada fitnah. Akan ada pengkhianatan. Akan ada duka. Tetapi juga akan ada kebangkitan, yang selama ini hanya tinggal dalam naskah-naskah nubuwat dan harapan mereka yang tetap menjaga iman di bawah reruntuhan zaman.
Maka jangan kaget jika saat ia muncul, tidak semua orang menyambut. Karena yang tertutup matanya oleh dunia, akan buta melihat cahaya yang datang dari langit. Tapi bagi mereka yang telah lama bertahan, yang tetap menanti dalam diam dan sabar, itulah hari ketika kebenaran tak lagi hanya cerita. Tapi menjadi nyata.
Mereka yang terlalu keras menatap langit, mungkin lupa bahwa matahari terbit dari ufuk yang rendah. Maka jangan kaget jika pemimpin akhir zaman tak datang dari istana. Tapi dari kegelapan. Dari kesunyian. Dari luka.
KALA WAKTU ITU TIBA...
---
Andai dunia yang retak itu akhirnya digenggam oleh Pemimpin Akhir Zaman...
Maka aku tak ingin menjadi penonton di ujung jalan...
Apalagi pengamat dari balik tirai keraguan...
Sebab jika dunia telah letih oleh dusta...
Dan kebenaran datang bukan dengan sorak tetapi dengan air mata...
Maka aku ingin menjadi saksi yang setia...
Yang berdiri bukan karena tahu segalanya, tetapi karena percaya...
Aku tak butuh pangkat di sisinya...
Cukup menjadi tangan yang siap bekerja...
Dada yang siap menampung luka...
Dan suara yang melantun pujian saat dunia kembali mengingat nama Tuhan-Nya...
Sebab jika ia datang dengan wajah yang tak dikenali manusia...
Tetapi membawa cahaya yang dikenali ruh-ruh yang bersahaja...
Maka tugasku bukan membuktikan siapa dia
Tetapi memastikan jiwaku siap menyambutnya...
Menadah perintahnya, dan bersama dalam barisan yang mencintainya...
Karena di zaman yang penuh kelicikan dan tipu daya...
Menjadi hamba yang jujur adalah senjata...
Dan menjadi pengikut yang setia…
Adalah kemuliaan yang tak akan lekang selamanya...
PEMIMPIN AKHIR ZAMAN: Di Utus Tuhan atau Dipilih Manusia?
Ketika dunia terasa kian sempit oleh kezhaliman dan kerusakan yang merajalela, banyak hati yang merintih dalam diam, menanti sosok yang dijanjikan, pemimpin akhir zaman yang akan menegakkan kembali keadilan di atas bumi yang lelah. Di tengah kabut ketidakpastian itu, muncul satu pertanyaan yang menggugah benak; apakah pemimpin itu diutus oleh Tuhan, ataukah dipilih oleh manusia?
"Seandainya dunia tinggal sehari, niscaya Allah akan memanjangkan hari itu hingga Dia mengutus seorang laki-laki dari keluargaku, namanya seperti namaku, dan nama ayahnya seperti nama ayahku. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman."
Pemimpin itu tak datang dengan panggung, tepuk tangan, atau sorotan kamera. Ia lahir dari sunyi, dibesarkan dalam kefanaan yang tersembunyi, hingga tibalah waktunya. Ia mungkin tak menyadari dirinya sendiri, sampai takdir mengetuk pintunya. Dan saat dunia menolaknya, langit justru membelanya. Karena ia bukan datang untuk menyenangkan manusia, tetapi untuk menegakkan perintah Allah. Ia akan ditolak oleh yang gemar kekuasaan, dicurigai oleh yang nyaman dalam kebatilan, tetapi disambut oleh mereka yang jiwanya bersih, yang ruhnya masih tersambung dengan cahaya samawi.
Manusia punya hak untuk memilih, tetapi pemimpin ini bukan hasil pemilihan. Saat ia datang, tugas kita bukan mengangkat, tetapi mengenali. Bukan menimbang-nimbang dengan logika duniawi, tetapi menunduk dengan nurani yang bening. Ia adalah pemimpin yang tak haus pengakuan, tapi hadir sebagai pemenuhan janji Tuhan.
Maka, tugas kita bukan menebak-nebak siapa dia. Tetapi menyiapkan hati agar bisa menjadi sahabatnya. Menjadi bagian dari barisan kecil yang tak ragu untuk berdiri bersamanya, meski seluruh dunia menolak. Ia adalah kenyataan yang akan datang dengan pasti, membawa cahaya dalam gelap, keadilan dalam porak-poranda.
Jika ia datang esok pagi, siapkan hati mengenalinya. Siapkan jiwa menunduk saat semua orang menolak, dan siapkan langkah bergerak menuju kebenaran, meski tak ada jaminan kesenangan.
Sebab dalam akhir zaman ini, bukan jumlah yang akan menang, tapi ketulusan yang akan dikenang.
BIJAK TANPA TERJERAT
---
Di era digital ini, jari-jari kita adalah senjata. Satu ketikan bisa menjadi pelita kebenaran, tetapi juga bisa menjelma bara yang membakar diri sendiri. Berdebat di media sosial bukan lagi sekadar adu argumen, ia adalah medan yang penuh ranjau, di mana emosi yang tak terjaga bisa berubah menjadi jerat hukum yang membelenggu.
Karena itu, cerdaslah dalam menyampaikan pendapat. Bukan berarti kita harus diam ketika kebenaran dilukai, tapi belajarlah memilih kata. Hati-hati dengan label, jangan buru-buru menyebut seseorang "penipu", "sesat", atau "koruptor" tanpa bukti yang sahih dan otoritatif. Kita punya hak untuk menyuarakan pikiran, namun hukum punya caranya sendiri untuk menafsirkan apa itu ujaran kebencian, fitnah, atau pencemaran nama baik. Satu kalimat yang dilandasi ego bisa menjadi pasal yang tak terbantahkan.
Gunakan argumen, bukan cacian. Gunakan data, bukan drama. Jika ingin mengkritik, fokuslah pada ide, bukan menyerang pribadi. Sertakan referensi, bukan asumsi. Bila perlu, akhiri debat dengan kalimat bijak seperti, "Saya menghargai pendapat Anda, dan saya memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan ini demi menjaga ruang publik kita tetap sehat." Itu bukan tanda kelemahan, tapi bukti bahwa kita lebih peduli pada kebaikan bersama dibanding memenangkan pertempuran kecil yang sia-sia.
Dan yang terpenting, sebelum menulis, tanya dulu pada hati: Apakah ini akan membawa manfaat, atau sekadar memuaskan dendam sesaat? Jika hati berkata “tidak”, maka diam adalah kemenangan yang agung.
Karena di dunia maya, jejakmu tak pernah benar-benar hilang. Tapi kearifanmu akan selalu dikenang.