Ruang laboratorium hanya diterangi cahaya redup dari tabung reaksi dan layar-layar monitor yang menampilkan data tubuh manusia dalam bentuk angka-angka tanpa emosi.
Di balik meja logam yang dingin, duduklah seseorang dengan kacamata bulat dan ekspresi kosong. Ia menyentuh lapisan sel dari tubuh Uchiha yang ia kloning. Tangannya cekatan, presisi. Tapi tatapannya… kosong.
Namun satu hal tak pernah ia temukan:
_Siapa yang sebenarnya sedang ia bentuk di meja itu, tubuh orang lain, atau hatinya sendiri?_
Kabuto Yakushi. Nama yang tak punya sejarah.
Ia dulu hanyalah seorang anak kecil dari rumah yatim yang belajar membaca laporan medis lebih cepat dari membaca cerita anak. Tak ada orang tua. Tak ada nama keluarga yang diwariskan dengan bangga. Dan saat ia mulai tumbuh, dunia hanya melihat satu hal: _“Anak ini… berguna.”_
Kecerdasannya seperti pisau bedah. Tajam, namun dingin. Dan dunia hanya butuh pisau, bukan jiwa di baliknya.
Lalu datang Orochimaru. Sang ular tua. Sosok yang hidup dari ambisi dan ketakutan. Ia tak memeluk Kabuto, tapi membuka pintu: _"Masuklah, dan bentuklah dirimu sendiri."_
Dan Kabuto pun masuk… tanpa tahu bahwa ia sedang masuk ke dalam labirin tanpa cermin.
Di bawah bimbingan Orochimaru, Kabuto tak hanya belajar, ia berubah. Laboratorium menjadi tempat persembunyiannya dari kenyataan. Tabung percobaan menjadi perpanjangan egonya. Catatan riset menjadi doa yang ia bacakan malam-malam, bukan kepada Tuhan, tapi kepada konsep: kesempurnaan.
Ia menanamkan sel Hashirama ke tubuh kloning. Memetakan ulang DNA Uchiha. Mengawinkan teknik pengendali pikiran dan kontrol genetik.
Ia bukan lagi Kabuto. Ia adalah perpustakaan biologis para legenda. Tapi ironinya: semakin banyak kekuatan ia serap, semakin tipis ia rasakan keberadaan dirinya sendiri.
_“Aku sudah bukan siapa-siapa. Tapi aku juga belum menjadi siapa pun.”_
Lalu datanglah perang. Dan bersama perang datanglah Itachi. Dingin. Hening. Tajam seperti kebenaran.
Kabuto berpikir ini hanya soal teknik. Ia mencoba menganalisis pola gerakan, kombinasi jutsu, prediksi otot dan saraf. Namun Izanami bukan pertarungan kekuatan. Ini adalah sidang jiwa.
Siklus pun dimulai. Darah menetes. Tangan terputar. Gerakan yang sama. Lagi dan lagi.
Ia mencoba keluar. Mengutak-atik logika. Menyusun ulang persepsi. Namun Izanami tak bisa dikalahkan dengan pikiran. Ia hanya bisa diakhiri dengan penerimaan.
_“Kau ingin menjadi semua orang, karena kau takut menjadi dirimu sendiri, kini hadapilah siapa kamu… dan jangan lari lagi.”_
Tak ada ledakan chakra. Tak ada teriakan dramatis.
Hanya keheningan… dan air mata. Kabuto menangis, seperti anak kecil yang akhirnya bangun dari mimpi panjang.
Ia kembali ke rumah yatim. Membuka klinik. Menjadi peneliti yang menyembuhkan, bukan yang mencipta kehancuran.
Dan di ruang laboratorium kecil itu, di mana dulu ia mencari siapa dirinya lewat tubuh orang lain, kini ia menemukan jawabannya: _"Aku cukup… sebagai aku."_
Kabuto bukan penjahat. Ia adalah ilmuwan yang tersesat dalam labirin pengetahuan tanpa cahaya kasih sayang. Dan Izanami… adalah senter kecil yang menuntunnya keluar.
Ia mengajarkan kita, bahwa pencarian jati diri bukan soal kekuatan, bukan soal pengakuan,
tapi soal berani melihat cermin, dan berkata:
_“Meski aku tak sehebat mereka, aku tetap berhak ada… sebagai diriku sendiri apa adanya.”_