Kadang, kebenaran tidak datang dalam bentuk petir yang menyambar, tapi dalam percikan kecil yang mengendap diam di dasar hati. Dan siapa pun yang terburu-buru ingin menangkapnya—tanpa sabar, tanpa perenungan—seringkali justru tergelincir oleh kesimpulan yang dibangun dari serpihan makna yang belum utuh.
Dengarlah, bagaimana Tuhan memilih untuk mengabadikan ucapan Fir‘aun:
"Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku." (QS. Al-Qasas: 38)
Dan bahkan lebih congkak dari itu:
"Akulah tuhanmu yang paling tinggi." (QS. An-Nazi‘at: 24)
Itu adalah suara manusia, yang diliputi kebutaan dan keangkuhan. Tapi Allah mengabadikannya, bukan untuk memuliakan si-pengucap, melainkan agar kita mengingat bahaya dari hati yang telah membatu. Bahwa ada manusia yang merasa begitu tinggi, sampai mengangkat dirinya ke posisi Tuhan.
Apakah pengutipan ini mencemari kemurnian wahyu?
Justru di situlah letak kesucian dan kekuatan Al-Qur’an. Ia tidak hanya menyampaikan yang hak, tapi juga memperlihatkan dengan jernih bentuk kebatilan. Dan betapa indahnya metode ini, Tuhan membiarkan manusia berbicara di dalam kitab-Nya, agar kita bisa belajar bukan hanya dari wahyu, tapi juga dari kesalahan manusia lain yang telah diabadikan sebagai pelajaran.
Demikian pula dengan suara Iblis:
"Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api, dan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A‘raf: 12)
Dan lisan Nabi Musa, yang penuh harap:
"Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku. Mudahkanlah urusanku. Lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.” (QS. Taha: 25–28)
Semua itu adalah ucapan makhluk-Nya. Tapi bukan sembarang ucapan, karena Allah-lah yang memilih untuk mencatat, memilah, dan meletakkannya dalam konteks ilahiah yang sempurna.
Lalu mengapa ada yang merasa cemas saat ada yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an memuat suara manusia?
Barangkali karena kita terlalu terburu-buru menghakimi, terlalu cepat menyangka maksud, dan terlalu mudah merasa terguncang hanya karena mendengar satu potong kalimat, tanpa menanti utuhnya penjelasan, apalagi maknanya.
Maka, sebelum kita merasa perlu mengoreksi orang lain, mungkin kita perlu mengoreksi cara kita mendengar.
Sebab, yang terburu-buru merasa benar, seringkali adalah orang yang belum benar-benar belajar.