Hallo…!!! teman-teman mahasiswa yang bentar lagi akan sarjana. Gimana nih kabarnya? Baik, senang, bahagia, atau ada kata lain yang bisa dipakai untuk mengungkapkan perasaan kalian? Tanggal 27-28 Februari tinggal menghitung hari, bagaimana persiapannya sebagai salah seorang wisudawan? Wah… pasti jauh-jauh hari sudah disusun acara demi acara yang akan dilalui dalam peristiwa yang bisa jadi merupakan salah satu dari sekian banyak peristiwa yang paling bersejarah dalam hidupmu.
Ups… sebelum berbicara tentang masa depan nanti setelah diwisuda, kita review yuk bagaimana perjalanan kita selama menjadi mahasiswa. Hm… dari mana ya mulainya? Dari sini aja deh…
Empat, 5 atau 6 tahun yang lalu, juga merupakan hari penting dalam kehidupan kita. Seragam putih abu-abu mulai kita tanggalkan. Ya… kita lulus dari SMU. Senangnya bukan main sampe-sampe baju putih yang biasa dipakai buat sekolah udah berubah warna, kuning merah ijo (udah kayak bendera negara dari planet mana), rambut berani di cat warna-warni, mungkin karena sudah ngak bakal ketemu kepala sekolah, guru dan guru BK yang selalu negor kalo ada yang aneh-aneh, pokoknya udah bebas deh. Konvoi bareng teman-teman keliling kota cuma mau nunjukin bahwa kita udah lulus. Nongkrong di jalan trus ngajakin anak sekolah lain tawuran, serasa gak akan tawuran lagi nantinya. So, what gitu looo…..
Seminggu kemudian terima ijazah SMU, lulus dengan nilai bisa dibilang lumayan, gak bego-bego amat. Trus, ngapain lagi? bingung? mau kuliah dimana? jurusan apa? Dengan beberapa kerja keras, beberapa uang sogokan (mudah-mudahan ngak ada) dan beberapa keberuntungan akhirnya bisa masuk juga universitas negeri atau swasta. Dengan jurusan yang sebelumnya ngak pernah tau dan ngak pernah direncanain sebelumnya (benar ngak ya?). Masuklah dunia yang baru dimana kebebasan berfikir dan bertindak menjadi hal yang biasa tidak seperti di SMU dulu. Dunia akademis dimana beberapa orang bilang siapapun yang belajar di sini akan menjadi agen perubahan.
Pertama masuk kuliah menghadapai senior yang siap menggencet ade’ kelas yang baru masuk (saya termasuk beruntung karena dulu pas masuk jadi angkatan pertama), dikerjain, dimarahin, tapi ada juga yang baiknya seperti saya dulu (Ehm…). Penyampaian visi misi universitas yang ingin membekali mahasiswanya dengan berbagai keahlian yang membuat mahasiswa nantinya siap menghadapi tantangan pekerjaan dan menjadi sarjana yang siap pakai. Ketemu dengan pola belajar yang sama sekali baru dimana pengajarnya kok jarang ngasih materi cuma tugas, bikin makalah, paper penelitian, presentasi, dan diskusi. Dosen yang killer dan ngak mau tau jadi santapan sehari-hari. Materi-materi kuliah yang berat dan kadang bikin senewen seperti filsafat dan kewarganegaraan (kalo masih ada). Belum lagi materi-materi pokok kuliah dan tugas-tugasnya yang seabreg-abreg. Trus ditambah lagi dengan administrasi perkuliahan yang bikin pusing.
Bagaimana dengan yang “bermigrasi” ke kota untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi? Waaa…lebih puuusiiing lagi. Masih harus cari rumah kost, kontrakan, tinggal di rumah saudara, asrama atau mau tinggal satu bangunan di masjid atau tempat ibadah. Belum lagi berhadapan dengan aturan-aturan yang terkadang masih asing, yang lebih “sengsara” adalah yang tinggal di asrama karena harus berhadapan dengan disiplin tinggi yang dipaksakan (karena hanya berlaku bagi junior, sementara senior adem-anyem aja: maaf ya… adik-adikku yang sekarang udah jadi senior). Yaaa… tapi begitulah kenyataannya dulu, hukum yang berlaku jauh lebih kejam daripada “hukum rimba”. Ada 2 pasal krusial yang menjadi “dewa pencabut nyawa” (biasanya diterapkan pada saat opspek). Pasal 1; senior tidak pernah salah, pasal 2; jika senior salah ingat pasal 1. Hehehe… aneh ngak tuuu…?
Oya… ini mungkin pengalaman kita bersama ketika awal-awal semester. Jam 4 dinihari sudah harus bangun karena diuber-uber senior buat kerja bakti bersihin lingkungan asrama (ini bukan pada masa opspek lo… kalo opspek bisa lebih awal lagi; pengakuan JUJUR mantan ketua opspek; untungnya kami ngak pernah nerapin aturan kaya’ gitu, dan beruntungnya lagi di Untan katanya udah tidak ada). Padahal pada jam-jam segitu, enaknya… saya yakin anda tahu semua. Jam 6 pagi sudah pontang panting ke kampus, karena jam 7 kurang 15 menit sudah harus ada di laboratorium untuk praktikum. Terlambat 1 menit saja, dijamin ngak bakalan masuk jika ndak punya alasan jitu seperti salah satu iklan permen di televisi. Ndak mau nurut, pasti jadi anggota resmi nasakom deh (baca: Indek Prestasi=IP NAsionalis SAtu KOMa).
Kebayangkan susahnya kuliah dengan tantangan seperti itu? Bukan bayangan lagi bro… tapi udah jadi kenyataan yang sekarang tinggal kenangan. Yang mau gak mau harus dijalanin juga selama 4++ tahun mengenyam materi yang katanya bakalan mencetak sarjana yang siap pakai itu. Setelah susah payah kuliah akhirnya sampe juga ke tahapan pembuatan dan sidang skripsi. Akhirnya lulus sidang skripsi dengan nilai A dan lulus kuliah dengan predikat cukup memuaskan. Senang bahagia, tapi gayanya ngak lagi seperti pada saat lulus SMU dulu. Ngak ada coret-coret baju, gak ada konvoi-konvio dan lain-lain (klarifikasi; penulis belum lulus lo).
Kini, wisuda sarjana seminggu lagi, udah deg-degan deh. Saudara dari kampung diundangin, orang tua kalo yang dikampung di panggil buat nyaksiin kita wisuda sarjana, kebanggaan dan persembahan buat orang tua dan keluarga besar. Maklum, mereka adalah yayasan yang selalu setia mengucurkan “tali kasih” setiap bulannya. Maka dengan bangganya orangtua kita akan bilang "anak saya yang no sekian sekarang sudah sarjana, nilainya juga bagus". Dan… Besoknya status kita udah berganti dari mahasiswa menjadi sarjana.
Satu hari bahagia berlalu, dengan semangat 45 dan gelar sarjana, mulai deh masukin lamaran kerja ke beberapa perusahaan. tapi gimana ya cara bikin surat lamaran kerja? beli buku cara bikin lamaran kerja di toko buku lalu contek sana sini akhirnya bisa juga. Tetapi kok keahlian yang dibutuhkan di dunia kerja saya ngak punya selain jurusan kuliah yang saya ambil? kompetensi-kompetensi pokok yang dibutuhkan di dunia kerja tidak diajarkan waktu kuliah dulu. Saya ngak punya jiwa kepemimpinan, tidak bisa bekerja dibawah tekanan, tidak bisa menganalisis kebutuhan, tidak bisa kerja dengan orang lain, terus… masih banyak lagi yang saya ngak bisa. Alhasil lamaran cuma berakhir di tong sampah bagian HRD dan tidak lebih. Wew… akhirnya.
Setahun sudah jadi pengangguran bertitel sarjana, kali ini lamaran udah gak sesuai dengan jurusan kuliah. Kerjaan apa aja asal ada dikirimi lamaran. Putus asa ngelamar kok gak diterima-terima. Udah kuliah 4 tahun susah, masuk dunia kerja lebih susah lagi. Ngapain aja dikampus dulu? lulus kok jadi sarjana tidak siap pakai! tanya kenapa?
Teman-teman… penulis tidak ingin menakuti. Tetapi itu adalah sebagian cerita dari novel indah berjudul “kehidupan kita” yang diperjuangkan dengan penuh pengorbanan. Mungkin bagi penggemar sinetron-sinetron bertema romantisme pasti akan selalu ingat (kalau tidak ingin dikatakan basi) ungkapan seperti ini; “cinta tidak selamanya harus memiliki”. Mungkin, ungkapan yang tepat juga berlaku bagi kita; “sarjana tidak selamanya harus bekerja”. Wow… enaknya.
So… gimana niii? Kasian ortu. Bagaimana pula dengan si-dia yang setia menanti, ntar di rebut donk ama om-om yang udah kaya duluan, mana umur udah ¼ abad lagi. Cape deh…!!!
Ya… harus bagaimana lagi. Beginilah gambaran nyata yang harus diterima. Akan tetapi, ada 1 cerita ringan yang saya dapatkan dari sesorang teman. Awalnya dia hanya bermaksud mengejekku ketika saya bertanya tentang “proyek” yang sedang digarapnya. “Eh… mau tahu bagaimana caranya uang 100ribu jadi 4juta dalam 1 bulan?” begitu pertanyaan temanku ketika aku memintanya untuk “membagi” sedikit proyek yang dikerjakannya. Waaa… itu pasti proyek besar donk. Aku tertarik walau sebenarnya ngak percaya (karena nih teman Cuma tamat SMU), kalo gitu harus jadi pejabat donk. Gaji pegawai negeri golongan III A aja kalah (padahal modal untuk jadi pegawai negeri jauh lebih gede).
“Jualan nasi goreng aja, katanya. Modal 6 ribu, jual 9 ribu, untung 3 ribu, 1 hari terjual 50 porsi. Total keuntungan 150 ribu. Kalo 1 bulan 30 hari, total keuntungan 4,5 juta. Hitung libur deh, jadi dapat profit 4 juta per bulan. Cukup kan buat biaya menikah kalau ditabung selama 5 bulan?” katanya ringan menjawab pertanyaanku.
Simple memang, tetapi apakah orang yang bertitel sarjana seperti “kita” mau melakukannya. Ya… hidup adalah pilihan. Pilihan lah yang menentukan apa yang akan kita miliki. Yang pasti, miliki apa yang dicintai, cintai apa yang dimiliki (ini kata Andrie Wongso lo).
Teman-teman, dalam menghadapi era perubahan seperti sekarang ini, kita harus tetap optimis tidak boleh pesimis, sementara di sisi yang lainnya kita juga harus mampu untuk bersikap dinamis, tidak apatis. Kita harus mampu mengembangkan kreativitas diri, meningkatkan soft skill kita selama perkuliahan, jangan hanya berkutat dengan tugas. Salah seorang dosen saya pernah menyatakan bahwa PT hanya mampu memberikan 20-30% materi yang kita perlukan untuk masa depan kita sedangkan yang lainnya harus kita cari sendiri di University of live (universitas kehidupan), dari lingkungan sekitar kita. Bersikap idealis dengan hanya bergantung pada materi yang diberikan di PT bukanlah pilihan yang tepat, mengapa …? Karena kita hidup di alam realistis yang bersifat varibel, selalu berubah-ubah. Bukankah mahasiswa adalah agent of change? Tentunya sebagai agen perubahan, kita juga harus mampu menyikapi perubahan agar kita tidak larut di dalamnya, sekaligus mau untuk membuka diri selama itu baik dan bisa kita lakukan. Sehingga kita tidak tertinggal jauh di belakang di bandingkan dengan rekan-rekan kita dari PT yang lain.
Ok…! Yang pasti… Selamat deh, buat teman-teman yang nanti diwisuda. Welcome, selamat datang ke dunia nyata (saya tidak ingin “kejam” dengan memberikan sambutan seperti yang dilakukan para alumni salah satu perguruan tinggi di Jawa dengan membentangkan spanduk bertuliskan “selamat datang para pengangguran”). Semoga masa depanmu, masa depan kita, tidak sekelam warna toga yang kita kenakan.
“Hidup adalah perjuangan, perjuangan tanpa pengorbanan; bohong, pengorbanan tanpa doa; sombong.”
2 komentar:
Kok pesimis ya...!!!
Tapi memang begitulah keadaan yang sebenarnya.
Jika ingin membangun negeri ini, orientasi berpikir kita harus mulai diubah. Bukan lagi berorientas pegawai tetapi bagaimana menjadi seorang pengusaha yang dapat menciptakan banyak peluang untuk orang lain.
Sukses selalu!!!
tulisan yang apresiatif terhadap kondisi tingginya angka pengangguran intelektual di Kalimantan Barat. mantap! seorang teman bercerita bahwa wisuda februari 2010 ini mencapai 50 orang (FMIPA), 500an (FKIP) dll. asumsikan saja 1 kali wisuda melahirkan 800 sarjana (seluruh fakultas) dengan akumulasi 2 kali wisuda (tiap tahun-februari dan agustus) maka terlahir 1600 sarjana dalam 1 tahun. jika 10%nya sudah bekerja sebelum tamat kuliah, maka pengangguran bertambah 1.440 jiwa/tahun. pertanyaannya adalah apakah universitas memberikan pengembangan kapasitas kesiapan menuju dunia kerja? jawabannya hanya memfasilitasi saja wilayah pengkaryaan. tetapi kesadaran akan hal itu sebenarnya ada di masing2 individu. jika ingin pintar silahkan belajar. jika ingin pintar dan cerdas silahkan mengembangkan diri dan belajar. karena universitas tidak tuntas mempersiapkan sarjana yang siap di dunia kerja. selebihnya cari sendiri.
Posting Komentar
Silakan tulis kritik dan saran Anda. Yang membangun ya...!!