Pontianak, 15 November 2009
Untuk Sahabatku, yang pernah mengisi ruang di hati…
Assalamualaikum Wr. Wb.
Teriring salam semoga kita selalu berada dalam naungan rahmat dan perlindungan-Nya.
Hallo… apa kabar? Kaget ya…? Wajar aja. Karena sudah lama kita tidak berkomunikasi. Rian mohon maaf, kalau baru kali ini menyempatkan diri merangkai kata untuk mengobati rasa rindu yang sebenarnya sudah “terlarang” untuk terus dinyatakan. Rasa ini seolah tidak mau lekang di hati, membatu, membentuk fosil-fosil cinta yang tak terdefinisikan.
Masih ingat aku kan? Sengaja kukirimkan secarik kertas sebagai wakil diri. Bukannya aku tidak mau mendengar suaramu atau bertatap mata langsung denganmu. Aku memang menghindar agar jiwa tidak lagi terbelenggu oleh asa yang bisa saja muncul ketika kita bersama. Padahal kita sama-sama belajar untuk menghindarinya. Tangan ini tergerak untuk menuliskan kata demi kata, sebagai obat cinta yang tidak mau sirna, kuharap hari ini adalah akhir dari sebuah penantian panjang yang tidak berujung. Mengakhiri dilema hati di antara kita berdua, di saat hati kita masing-masing sudah tidak lagi sendiri. Walaupun sebenarnya, nun jauh di dalam samudra jiwa, perasaan ini berontak, tidak mungkin untuk meninggalkanmu, apalagi sampai harus melupakanmu.
Nia… hari ini aku harus kikis rasa cinta yang masih tersisa di hati. Walaupun usaha ini telah kulakukan sejak 2 tahun yang lalu, masih terlalu banyak ruang yang terisi memory kita bersama. Sulit… sangat sulit bagiku untuk mendelet semuanya. Walaupun sudah terhapus, masih menyisakan ion-ion positif dan negative yang bisa saja mengalir, me-recharge kembali sisa-sisa energy cinta yang sudah lama redup.
Maafkan aku sayang, aku terpaksa melakukan ini… bukan karena dendam atau benci. Tetapi karena ku tahu, ketika lembaran-lembaran ini ada di pangkuanmu, ketika lembaran-lembaran ini mengurai semuanya, merupakan hari-hari yang paling bersejarah dan membahagiakan bagimu. Aku tidak ingin hari bahagiamu menjadi hari dukaku. Makanya kugoreskan tinta ini… sebagai bentuk pelepasan asa yang selama ini selalu bergema di relung-relung sanubariku… agar ia sirna.
Nia… aku tidak tahu, bagaimana responmu ketika menerima surat ini… aku hanya ingin berbagi cerita. Dan aku berharap, kau bersedia membacanya kata demi kata. Anggap saja ini permintaan terakhir dariku. Semoga kau berkata …IYA… untuknya.
Mungkin, bagian ini merupakan episode paling lucu dalam hidupmu. Yang akan menjadi pengantar tidur bagi cucu-cucumu kelak. Terserah… aku malah senang bila cerita ini masuk menjadi pelengkap di museum cintamu.
Yaaa… cerita tentang seorang pria yang mempunyai obsesi luar biasa, tapi tak kuasa untuk mewujudkannya. Ku akui… sampai hari ini pun, bahkan mungkin nanti… tak kan ku temukan wanita sepertimu. Kamu adalah makluk terlangka yang hanya satu-satunya dilahirkan ke dunia.
Sayang, bolehkan kusibak kembali cerita kelabu cinta kita?
Awal perkenalanku denganmu tidak lah begitu istimewa. Kamu sama seperti gadis-gadis yang lain. Kedekatan kita berawal ketika kita sama-sama satu kelompok belajar. Oleh karenanya, seakan kita tak terpisahkan, betulkan? Hampir tiap hari selalu kita habiskan bersama. Bermain dan belajar bersama. Di sekolahpun juga demikian. Aku tidak menyadari kedekatan itu, aku hanya menganggapnya sebagai sebuah rutinitas yang mengisi waktu luangku.
Satu tahun kemudian, baru aku merasakan makna kedekatan kita. Saat itu, setiap perpisahan denganmu selalu diringi dengan rasa ingin bertemu. Setiap mata kita beradu, ada kilatan listrik yang selalu membuat dadaku berdebar. Satu rasa yang dulu tidak pernah ada. Anehnya, setiap aku sendiri, bayanganmu selalu muncul tanpa kuinginkan. Menyapaku, mengajakku tersenyum, tertawa bahkan kemudian menanamkan kuku-kuku kerinduan. Yang membuatku tak sabar menunggu hari esok agar aku bisa merasakan kembali degupan jantung yang dengan cepat berpacu dan merasakan getar-getar jiwa yang membuat lidah ini kelu untuk berbicara.
Hati ini terkadang bertanya, perasaan aneh apa yang sekarang bertandang tanpa mengetuk pintu. Setiap kali aku berusaha menemukan jawabannya, yang tergambar jelas adalah kamu. Bayanganmu sekarang telah memenuhi semua sisi pikiranku, merampok seluruh ruang di hatiku, tanpa menyisakan satu ruangan pun untuk yang lain. Aku tidak lagi sadar, kalau yang aku hadapi adalah meja dengan peralatan tulis di atasnya, atau makanan lengkap dengan lauk pauknya, tetapi yang aku hadapi adalah sebuah kotak besar layaknya televisi yang menampilkan dirimu dalam berbagai pose. Membuatku tidak bisa melihat realita kesendirianku. Yang kurasakan adalah kehadiranmu, yang selalu membuatku tidak percaya diri pada apa yang akan kulakukan. Aku selalu merasa ada yang kurang bila berada di dekatmu. Sepertinya ketidaksempurnaan selalu mengiringi langkahku. Dunia seakan tertawa melihatku.
Setelah beberapa waktu, baru ku sadari bahwa aku perlu kamu, aku ingin selalu berada di dekatmu. Aku baru menyadari di balik renyah suaramu ada sebuah keanggunan yang mengalunkan kata-kata indah, yang kurasakan sebagai tangan yang selalu menarikku, membelaiku, hingga aku betah berlama-lama disampingmu. Tatkala kau tersenyum, kurasakan setetes embun tertuang, memberikan berjuta kesejukan di tengah terik mentari. Aku baru menyadari, di antara kibaran jilbabmu, di tengah tiupan angin yang menerpa wajahmu, terdapat puisi yang terangkai indah, menyusun kalimat, menggoreskan arti, tentang sebuah makna cinta.
Nia, masih boleh ceritakan? Boleh donk… ini kan cerita terakhir dariku untuk mu… boleh ya…!!!
Ada peristiwa, yang sampai hari ini bisa membuatku tersenyum jika mengingatnya. Tertulis dengan rapi di diaryku. Suatu malam, 30 Juni 2006, aku sudah berada di pembaringan. Detik demi detik berlalu. Tetapi aku belum bisa memejamkan mata. Berjuta angan bergejolak di kepalaku, seakan antri untuk hadir di alam khayalku, memaksa otakku untuk terus bekerja. Sepertinya ngak bisa tidur sekarang. Gumamku. Dengan langkah berat ku seret kakiku keluar. Teman-teman tampak masih ramai di ruang tengah menonton TV. Kuarahkan kakiku kesana. Seperti biasa, aku hanya mengintip lewat pintu tanpa berusaha masuk.
“Ayo masuk!” ajak temanku.
“Ah, ngak. Kehabisan tiket nih”. Jawabku lemes. “Tumben rame amat, acara apa?”
“Ah biasa, ratu ngebor lagi show”
“Lho, malam ini layar emas kan?”
“Lagi iklan.”
“Oooo…. “. Aku pun beranjak ke luar.
“Kemana lagi?”
“Wartel”.
“Ayo… nelpon siapa tuh?”
“Ada aja”. Jawabku sekenanya.
Tak lama kemudian aku sampai ke wartel. Dengan tenang aku masuk dan sekilas kutatap semua ruangan. Mataku terhenti berkeliling ketika tertumbuk pada sebuah jam dinding. Wah, baru jam 9, terlalu awal untuk tidur. Pikirku. Dengan cuek kudorong pintu dan duduk di atas kursi yang menurutku tidak terlalu empuk. Kuangkat gagang telepon dan ku tekan enam angka yang memang sudah lama kukenal.
“Assalamu’alaikum… Hallooo?”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah, ini dengan siapa?” Terdengar suara dari seberang sana.
“Rian?”
“Rian… Fisika kan? Waa… kebetulan. Mo nanya nih. Makalahnya udah selesai?”
“Lho… kok Fisika?” aku tercekat. Kuperiksa kembali deretan angka yang barusan ku tekan. Ops… aku lupa menekan 4 angka kode kabupaten… yang tersambung bukan padamu, tetapi teman 1 kampusku, Rini, yang kebetulan no telepon rumahnya sama dengan nomor telepon rumahmu.
“Tema-nya yang lain deh”. Jawabku tergagap.
“Ayo ketahuan, pasti belum?” Rini mencoba menebak.
“Ia, lagi pusing nih”.
“Ada masalah, lagi sakit, atau ada hal lain?”
Aku terdiam.
“Cerita donk, gimana aku bisa memberikan solusi kalau aku ngak tahu persoalannya. He…he…he… Masa trainer bisa down”. Candanya.
“Mungkin terlalu panjang untuk kuceritakan sekarang. Besok aja di kampus. Mau kan dengar ceritaku?”
“sepertinya…”
“Sepertinya…?” Ulangku dengan nada bertanya.
“Sepertinya… bisa. Lalu sekarang?.”
“Hmm… Aku hanya ingin mendengar suaramu”.
“Lho, emangnya ada apa dengan suaraku?” Tanya Rini dengan keheranan.
“Sorry, becanda. Udah dulu ya! See you”. Kataku cepat dengan meletakkan gagang telepon tanpa menunggu kembali jawaban darinya.
“Berapa bang?”
“Rp 300,-“. Jawab operator.
“Ini”. Kataku sambil menyerahkan uang logam 5 ratusan. “Sisanya ambil deh”.
Dengan setengah berlari aku kembali ke asrama. Masuk kamar dan merebahkan diri di pembaringan. Ku tarik nafas panjang untuk mencoba menenangkan debaran jantungku yang berpacu. Keterkejutannya telah membuatku sadar. Kalimat terakhir yang terucap adalah ungkapan hati yang dulu pernah kukatakan pada mu. Aku kembali teringat peristiwa beberapa tahun silam di saat kita baru saja selesai menerima tanda kelulusan kita.
Malam itu malam Minggu. Aku ingat betul tanggal berikut jam kejadiannya.
“Wah, ada apa niii?” Sapamu ketika tahu aku yang datang. “Masuk, tunggu bentar ya!” Lanjutmu.
Aku memang sudah lama tidak bertamu ke rumah mu. Sejak kita kelas 2 MAN. Padahal waktu MTsN dulu, rumah ini sudah seperti rumahku sendiri.
Kuedarkan pandanganku, tidak ada yang berubah. Semuanya masih seperti dulu. Ruang yang cukup besar yang kemudian di bagi 2 menjadi ruang tamu dan ruang tengah dengan meletakkan satu buah almari sebagai pembatas. Sederet gelas-gelas antik tampak tersusun rapi memenuhi bagian atas almari yang hanya ditutup dengan pintu-pintu kaca. Yang terlihat baru adalah hadirnya sebuah kipas angin di sudut ruangan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Oh, ternyata foto itu masih betah bertengger di sana. Gumamku, setelah yang kucari kutemukan. Di dinding masih terpampang fotomu sekeluarga. Kamu berdiri paling kiri, ayahmu, kemudian ibumu. Sedangkan 2 adikmu duduk di depan. Kamu tampak tersenyum dengan 2 silender kaca menghiasi matamu. Aku bisa memandangmu dengan puas sekarang. Tanpa takut di pelototi, atau merasakan getaran-getaran aneh di dadaku. Ya… karena yang kupandang hanyalah sebuah foto yang tidak bisa memberikan resfon apapun. Oh… seandainya, aku bisa berada di sana, berdiri di sampingmu, betapa bahagianya. Tanpa sadar tanganku bergerak ke arah kaca yang memisahkan fotomu denganku.
“Ayo, ada apa dengan fotoku?” Ledek mu yang telah berdiri di belakangku. Kamu keluar dengan membawa 2 gelas teh hangat dan beberapa potong kue.
“Ah ngak, sepertinya tuh kaca udah mulai kotor.” Jawabku salah tingkah.
“Masa siiii? Padahal tadi pagi aku bersihin”. Kamu beranjak mendekati bingkai. “Nah, masih bisa ngacakan?” Lanjutmu.
Aku Cuma tersenyum, tidak bisa lagi menemukan kata-kata untuk membela diri.
“Tumben nih kemari, baru ingat jalan pulang ya?” Kamu membuka pembicaraan.
Aku tidak langsung menjawab. Ku nikmati terus tegukan demi tegukan teh hangat yang kamu suguhkan. Sekilas ku tatap wajahmu. Nampak berbinar dengan seulas senyuman manis yang pernah membuatku KO di ronde pertama. Tidak seperti 1 setengah tahun yang lalu. Awan hitam selalu berkelebat di wajahmu di saat aku datang. Tidak lagi kutangkap sinar tajam matamu yang mungkin merupakan luapan kekesalan, marah atau merasa terteror atas kedatanganku. Yang kurasakan adalah semilir angin pantai yang membuatku kembali senang memandangmu lekat-lekat.
“Aku takut mengganggu konsentrasi belajarmu”. Jawabku setelah terdiam beberapa saat.
“Takut mengganggu atau marah karena kutolak?”
Aku terkejut. Aneh, kamu kok masih mengingatnya. Kembali kutatap wajahmu. Menelusuri jauh di kedalaman matamu untuk menemukan jawaban. Namun sia-sia, terhalang 2 perisai kaca yang menghiasi matamu. Pesona yang kupancarkan seolah terpantulkan membentuk sudut tak beraturan tatkala bertumbukan dengan lensa-lensa itu.
“Ya… dua-duanya”. Kataku.
“Lalu sekarang?”
“Aku hanya ingin mendengar suaramu”.
…….oooOooo…….
Ah… ngak lucu. Mungkin itu yang ada di pikiranmu. Ya… tapi kesalahan yang tanpa disengaja itu memberikanku kesempatan untuk menemukan orang yang bisa memahamiku. Dan… ternyata dia mampu menggantikan posisimu di hati. Walaupun belum sepenuhnya.
Harapan padamu yang sirna membuatku seakan lupa akan diriku, siapa sebenarnya aku, apa tujuan awalku, apa cinta dan citaku. Semuanya hilang, yang ada sekarang hanyalah kesunyian yang manghadirkan ketakutan. Takut terhadap sesuatu yang tak tampak, kasat mata, yang aku sendiri tidak tahu seperti apa wujudnya. Perasaan takut ini membuatku jatuh dalam keterpurukan, lemah tak berdaya. Jangankan untuk duduk, berdiri, berjalan atau berlari, menggerakkan jemari pun aku tak sanggup. Seolah tak ada energy yang mengalir, tak ada tulang yang menyangga.
Nia… kehadirannya telah mampu menyadarkanku untuk tidak terus pasrah. Menyerah pada perjalanan nasib yang selalu mempermainkan hidupku. Aku harus bangkit, walau hanya dengan merangkak. Aku harus tinggalkan lembah kelabu cinta kita yang bagaikan jurang tak berujung. Yang membuatku jatuh bebas tanpa tahu akan kemana mendarat. Kesia-siaan yang selama ini kulakukan harus kutinggalkan. Percuma kalau aku tidak mendapatkan hasil apapun dari pengembaraan panjang yang telah kulalui. Langkah yang ku bangun walaupun masih terpatah-patah harus tetap maju. Walaupun di balik itu semua, hati ini masih ragu. Apakah langkah maju yang ku lakukan akan membawaku ke taman bunga penuh impian atau kembali menenggelamkanku ke dalam jurang tak berdasar.
Memang, kehadirannya telah menimbulkan semangat baru. Memompa pacuan jantungku, mengalirkan darah sampai ke pembuluh-pembuluh terkecil di tubuhku. Membangun jaringan tulang yang sempat terserak. Yang kemudian tak hanya mampu membuatku menggerakkan jemari, tetapi juga mampu membuatku bangkit, berjalan bahkan berlari. Mengejarnya dengan panduan wangi kesturi yang ia tebarkan. Yang telah menyadarkanku dari jeratan tali-tali pesona yang hanya menghadirkan keindahan sesaat, bagaikan lingkaran pelangi, indah, tetapi ketika gerimis berlalu, ia pun lenyap. Bagaikan imingan harapan dari sebuah fatamorgana pada orang yang sedang haus di tengah gurun nan tandus. Tetapi ketika jarak mengecil, yang Nampak hanyalah hamparan pasir, menyiratkan seonggok hawa kematian. Namun, aku yakin. Harum kasturi yang sekarang menuntunku, menjadi kompas dalam gelap, yang tanganku sendiri tak mampu menunjukkan arah karena tak bisa kulihat, akan membawaku ke suatu tempat yang terang benderang. Penuh dengan warna-warni. Yang tampak bukan lagi kilauan harta, bukan semerbak bunga mawar, bukan hangatnya pemandian air panas atau dekapan seorang kekasih. Yang hadir sekarang adalah cinta. Luas, bagaikan samudra tak bertepi. Tak mungkin tersamai oleh manisnya madu dunia. Sesuatu yang dulu ku anggap indah, ternyata hanyalah bianglala yang menghias di kala senja, yang apabila diimpikan hanya akan menghadirkan sejuta harapan keindahan tak terbalas.
Nia… panjang ya suratnya? Aku tidak menganggap ini sebagai sebuah surat, tetapi aku merasa seolah sedang berbicara langsung padamu. Ketika pena ini mulai bergerak pelan mengukir asa, kurasakan kau berada di sampingku mendengarkan denting-denting jam yang menyisakan detik-detik terakhir kebersamaan kita. Yaa… karena sebentar lagi, kau akan…
Maaf, aku tak kuasa untuk menuliskannya, hanya aku bahagia telah menunjukkan sesuatu kepada orang yang kucintai. Nia… Rian sudah berjuangkan? Sudah melakukan usaha sesuai dengan kemampuan ku untuk bisa bersamamu. Itu lah yang sampai hari ini masih bisa membuatku tersenyum. Walaupun ku tahu, tak lama lagi kau akan berdua. Kita akan terpisahkan oleh dinding kaca, yang membuatku hanya bisa memandangi tanpa bisa memiliki.
Sekarang, aku baru menyadari, bukti dari ketulusan cinta bukan dengan kedekatan, bukan dengan tatapan, bukan dengan kecupan, apalagi dekapan kehangatan. Ketulusan cinta hanya bisa dibuktikan dengan kesediaan menerima pasangan kita… apapun pilihannya.
Aku ingin buktikan, inilah ketulusan cintaku padamu. Walau dengan berat hati, aku akan berikan apa yang kau minta, dalam 1 paragraph cinta yang pernah kau rangkai sebagai jawaban atas rasa yang coba kuberikan padamu.
“Rian, luapakanlah aku. Hapuslah bayanganku di hatimu, selama-lamanya. Kuburlah perasaanmu dalam-dalam. Sepahit apapun itu harus kau lakukan. Demi aku, demi batinku! Aku tak ingin kau terus berharap, karena selama itu juga, aku akan anggap kau sebagai musuh yang selalu menyiksaku”.
Nia… aku lakukan ini, karena aku yakin. Bahagiamu adalah bahagiaku, tawamu adalah tawaku, candamu adalah candaku. Bahkan… dukamu pun adalah dukaku. Aku tak ingin… Kristal-kristal cinta… menetes… karena nestapa… biarlah ia membasahi pipi… karena haru bahagia…
Selamat ya… aku yakin siapapun yang kau pilih, adalah yang terbaik buatmu. Semoga kebahagian selalu menyertai langkah kita…
Sahabatmu,
Teruntuk Sahabatku....
Rini....
Yang baru saja melepas masa lajangnya....
Semoga Allah melimpahkan karunia kebahagian, serta kemudahan dalam menggapai ridha-Nya
Doa ku kan selalu menyertai setiap langkah kakimu...
3 komentar:
Fiksi atau kisah nyata ...???
sepertinya fiksi.
:P
tapi jika ini kisah nyata, keren juga.
keep posting brada.
Salam kenal dari blogger nusantara (NTB).
20% nya Fiksi.... sisanya rangkuman dari kisah nyata...
Salam kenal juga Sob...
Posting Komentar
Silakan tulis kritik dan saran Anda. Yang membangun ya...!!