ALLAH
Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah. Allah, Tuhan yang kasih sayang-Nya begitu
luas, jauh lebih luas dari alam semesta ini dan jauh lebih dalam dari lautan
samudera. Kasih-Nya dilimpahkan kepada makhluk-makhluk-Nya dengan tanpa pilih kasih,
sayang-Nya dicurahkan tanpa perhitungan dan pamrih. Cinta-Nya begitu suci,
bening sebening embun pagi menyegarkan dedaunan dan pepohonan nan hijau
terhampar di bumi. Cinta-Nya begitu terang jauh lebih terang dari cahaya
matahari di siang hari, menerangi makhluk-makhluk-Nya yang melata. Hanya
kepada-Nya segala puja dan puji diberikan. Ibadah dan pertolongan yang kita
harapkan hanya layak kita sandarkan kepada-Nya.
“Faina
Tadzhabuun?”,. Hendak kemana engkau akan
pergi? Dari ungkapan yang cerdas itu, tersirat pula sejumlah
pertanyaan; kemana engkau habiskan masa mudamu? Kemana engkau
belanjakan harta bendamu? Untuk apa engkau gunakan umurmu selama ini?,..
Rasul
mengingatkan; bahwa manusia di dunia bagaikan musafir yang hanya beristirahat
sejenak, apakah di bawah pohon rindang atau di kolong langit di bawah teriknya
panas atau curahan hujan,. namun yang pasti,.. perjalanan berlanjut terus,
detik demi detik berganti sampai akhirnya suka atau tidak suka detik hidup di
dunia ini berakhir. Jawabnya,..
إنا لله وإنا إليه راجعون
Sesungguhnya
kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada Allah kami kembali.
Pembaca
yang dimuliakan Allah,
Umat Islam sebentar lagi
merayakan Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban 1438 H. Dan setiap Hari Raya
Idul Adha datang, memori bawah sadar kita langsung terbang pada sejarah yang
dilakoni oleh insan berkarakter mulia, yakni Ibrahim AS.
Episode-episode kehidupan Ibrahim sarat dengan ujian cinta.
Puncaknya adalah ketika Sang Khalik menagih bukti cinta Ibrahim dengan
menyembelih belahan jiwanya Ismail.
Sejarah Ibrahim dalam mencari dan menemukan cinta sejati
telah dilukisnya sejak kecil. Bahkan, nalar cintanya bergeliat dan mulai
memberontak melihat tabiat lingkungan yang melabuhkan cinta pada sosok ciptaan
sendiri, seperti patung.
Ironisnya lagi obyek labuhan cinta itu hasil made in
ayahandanya sendiri yaitu Azar. Sontak, hasrat Ibrahim dalam menemukan cinta
sejati kian membuncah dalam dada.
Dalam kegundahan dan kehausan mencari cinta, Ibrahim seakan
menemukan cinta sejati ketika dia melihat bintang-bintang yang bercahaya. Dalam
sekejap Ibrahim kecewa, ketika cahaya bintang semakin hilang, dan Ibrahim
melabuhkannya pada rembulan yang cahayanya paling terang.
Tapi semakin malam, cahaya rembulan kian redup dan
akhirnya menghilang seiring sang surya datang.
Dan cinta Ibrahim pun beralih pada sang surya. Dalam alunan
pikirannya berkata, inilah cinta sejati, kekuatan sinarnya mampu menerangi alam
semesta dan menghidupkan makhluk serta menumbuhsuburkan kehidupan. Namun
jangkar cinta yang dilabuhkan pada sang surya tidak berlangsung lama, semuanya
berakhir manakala sinar surya semakin meredup ditelan senja yang menjelang.
Ibrahim kembali gagal dalam menemukan dan mencari cinta.
Namun dibalik kegagalan dalam mencari cinta sejati melahirkan
nalar baru, bahwa cinta sejati itu adalah Tuhan yang menciptakan bintang,
rembulan, sang surya dan seluruh alam jagad raya. Kepadanya cinta seharusnya
dilabuhkan dan dijangkarkan dengan kuat. Pencarian Ibrahim dalam menemukan
cinta sejatinya telah direkam Allah dalam surah Al-An’am 76-79.
Cinta Ibrahim kepada Sang Khalik serta merta mendapatkan
halangan dan tantangan. Tidak hanya dari sang Ayah yang notabene produsen
“tuhan-tuhan”, namun juga dari lingkungan. Ibrahim diusir oleh ayahnya sendiri
dan klimaksnya Ibrahim diputuskan untuk dibunuh dengan cara dibakar hidup-hidup
setelah terbukti “membunuh” dan menghancurkan tuhan-tuhan mereka.
Eksekusi dilakukan dilapangan terbuka dan disaksikan semua
mata. Hasilnya, jangankan terbakar dan mati, sehelai bulu romanya pun tak
tersentuh oleh kobaran api. Episode ini Allah ceritakan dalam surah al-Anbiya,
ayat 69, “ Wahai api! Jadilah kamu dingin dan penyelamat bagi Ibrahim,”.
Romantika cinta Ibrahim terus berlanjut dan menemukan
epilog-epilog baru dalam meniti dan membuktikan cinta sejatinya kepada Sang
Khalik. Ketika usianya mendekati senja, harapan Ibrahim akan kehadiran sang
buah hati dari isterinya Siti Hajar belum juga datang.
Untaian kalimat cinta terus menerus tanpa putus disampaikan
kepada Sang Pemilik Cinta. Tak terbersit sedikitpun kata putus asa dalam
mengharap asa dari yang Maha Kuasa. Alhasil, penantian panjang itu berbuah
manis dengan lahirnya penerus cinta yang diberi nama Ismail.
Luapan air kegembiran dengan lahirnya Ismail belum sepenuhnya
diteguk dalam cawan keluarga. Cinta kembali diuji oleh sang pemilik cinta
sejati. Kali ini Ibrahim diperintahkan untuk mengungsikan Siti Hajar dan Ismail
ke suatu tempat yang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ibrahim beranjak pergi
memenuhi panggilan pemilik cinta.
Dengan kemantapan dan ketulusan hati, Ibrahim menelusuri
hamparan padang pasir dan berakhir disebuah lembah. Ibrahim menurunkan
Isterinya dan si kecil Ismail tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Melihat
gelagat Ibrahim mau beranjak pergi, siti Hajar menarik jubahnya seraya
berkata, “Wahai suamiku, apakah aku akan ditinggalkan bersama anakmu di sini?”.
Mendapat pertanyaan yang menghujam nurani, membuat Ibrahim
hanya bisa mengangguk kepala tanpa memandang wajah isterinya. Siti Hajar
menyela dan berkata,“Oh.. kiranya karena dosaku menyebabkan engkau bertindak
begini, ampunkanlah aku. Aku tidak sanggup ditinggalkan di tengah-tengah padang
pasir yang kering kerontang ini.” Ibrahim menjawab,“tidak wahai isteriku, bukan
kerana dosamu,”. Siti Hajar bertanya lagi, “Kalau bukan kerana dosaku,
bagaimana dengan anak ini... Anak ini tidak tahu apa-apa. Sampai hatikah engkau
meninggalkannya?”.
Di puncak kesedihan mendengar ujaran isterinya, Ibrahim
berkata, “ ketahuilah, ini semua adalah perintah Allah.” Mendengar nama Allah,
Siti Hajar terdiam dan lidahnya berhenti untuk merangkai kalimat agar Ibrahim
tidak meninggalkannya. Dalam bayangannya, jika ini perintah Allah, pasti ada
hikmah besar baginya, Ismail dan Ibrahim.
Sekali lagi Ibrahim berhasil membuktikan cinta sejatinya
kepada Allah, mengeleminir cinta-cinta yang lain, termasuk cinta terbesar
manusia kepada isteri dan anak. Rupanya ujian Allah tidak berhenti sampai di
sini, pembuktian cinta sejati Ibrahim terus ditagih ilahi. Ali Syariati
menyebutnya sebagai ujian langsung manifestasi cinta Ibrahim, yakni menyembelih
puteranya sendiri.
Pembaca sekalian,
Idul Adha yang kita peringati saat ini, dinamai juga “Idul
Nahr” artinya hari cara memotong kurban binatang ternak. Sejarahnya adalah
bermula dari ujian paling berat yang menimpa Nabiyullah Ibrahim. Disebabkan
kesabaran dan ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan,
Allah memberinya sebuah anugerah, sebuah kehormatan “Khalilullah” (kekasih
Allah).
Setelah titel Al-khalil disandangnya, Malaikat bertanya
kepada Allah: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu.
Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya dan keluarganya?” Allah
berfirman: “Jangan menilai hambaku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah,
tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”
Kemudian Allah SWT mengizinkan para malaikat menguji keimanan
serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya dan tidak
membuatnya lalai dalam taatnya kepada Allah.
Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi
Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta.
Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak.
Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah tergolong milliuner. Ketika
pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang “milik siapa ternak sebanyak
ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu
bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila
Allah meminta anak kesayanganku, niscaya akan aku serahkan juga.”
Pembaca
sekalian, mari kita lanjutkan kisahnya...
Pada
usia ismail yang masih belia, dimana penuh dengan kelucuan, keceriaan,
menggemberikan orang tua, Ismail yang sudah memiliki akhlak mulia, bijak dan sabar.
Ibrahim ditegur oleh Allah pada malam tgl 7 dzulhijjah dalam mimpinya untuk
melaksanakan nadzar atau janjinya terdahulu yaitu menyembelih anaknya jika
diperintahkan Tuhannya. Dalam mimpi tersebut, Allah SWT menegur beliau”
Wahai
ibrahim….penuhi janjimu !
Tersentak…ibrahim
dengan mimpinya. Kekagetan yang luar biasa, Keraguan, kegelisahan, gundah
gulana. Antara takut dan keyakinan berbaur dalam jiwanya, apakah ini mimpi dari
syaitan atau justru wahyu Tuhan yang menagih janjinya?
Otak
berputar…fikiran menerawang, raga gemetaran, seluruh pengetahuan dan
perasaannya bertumpu memikirkan mimpinya. Pada malam tgl 8 dzulhijjah mimpi
ibrahim berulang kembali
Wahai
ibrahim….penuhi janjimu ! kata
Allah
Ibrahim
semakin gelisah, haruskah putra tercinta, yang didambakan begitu lama, harus ia
bunuh dengan tangannya sendiri? mungkinkah Tuhan yang maha rahman dan rahim
memerintahkan sesuatu yang tidak baik?
Tapi
bukanlah suatu cinta terhebat jikalau tidak diuji dengan ujian yang maha
dahsyat ?
Apakah
cinta ibrahim kepada Tuhannya akan dikalahkan oleh cintanya kepada ismail ?
berfikir- dan terus berfikir …..
Tgl
7 dan 8 dzulhijjah karena Ibrahim berfikir, berfikir dan berfikir maka disebut
sebagai yaumut tarwiyah atau hari berfikir …
Pada
malam tgl 9 Dzulhijjah ibrahim mendapatkan mimpinya yang ketiga kali, maka ia
pun akhirnya mengetahui bahwa mimpinya itu merupakan titah Allah swt. Karena
pada tanggal tersebut nabi Ibrahim tahu bahwa mimpi itu dari Allah, dalam
bahasa arab kata “tahu” adalah arofa, sehingga tgl 9 Dzulhijjah disebut yaumul
arofah..atau hari pengetahuan bagi Ibrahim dan diperingati oleh jamaah haji
dengan wukuf di Padang Arofah.
Lantas,
Ibrahim pun mengutarakan hal tersebut kepada istrinya, bunda ismail, Siti
Hajar, dengan berat hati ia bicarakan mimpinya.. air mata terurai dari
sela-sela tatapan kepada anaknya yang haru, membasahi kedua pipi dari wajah
insan salehah itu.
Namun
karena kesalehan dan kesabarannya, Hajar dengan penuh dengan keimanan berkata,
jangankan anakku, jikalau Tuhan meminta jiwa ragaku harus dihunus seribu
pedang, maka aku ikhlas menerima, insya Allah tuhan tidak akan menyengsarakan
hambanya yang beriman.
Tapi
hal yang terberat bagi Ibrahim adalah ketika ia harus menyampaikan mimpinya
kepada anaknya ..
Bahasa
apa yang harus ia gunakan ?
Tutur
kata apa yang harus ia sampaikan ?
Jiwa
Ibrahim dituntun Tuhannya, lidahnya digerakan dengan bahasa Ilahiyah, terukir
dalam surat As-Sofat ayat 102 Allah mengkisahkan :
“maka
tatkala ismail anaknya telah mencapai usia yang sanggup, Ibrahim berkata :
wahai anaku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu,
maka fikirkanlah apa pendapatmu ?”
Ismail
pun menjawab :
“wahai
ayahku, lakukanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, insya allah engkau akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar…”
Subhanallah
!!!
Pada
tanggal 10 dzuhijjah ibrahim pun membawa ismail kesuatu tempat, disela
keberangkatannya sekiranya tempat jumratul aqobah setan menggodanya untuk
mengurungkan niatnya dengan seribu dalih dan rayuan busuknya. Ibrahimpun melemparinya
dengan 7 kerikil. Setibanya di suatu tempat sekiranya kini jumratul wusto
setanpun menggoda kembali dan ibrahim melemparinya lagi dengan 7 kerikil,
begitupun ditempat jumratul ula.
Setelah sampai disuatu tempat, dalam keadaan tenang Ismail
berkata kepada ayahnya : ”ayah, ku harap kaki dan tanganku diikat, supaya aku
tidak dapat bergerak leluasa, sehingga menyusahkan ayah. Hadapkan mukaku ke
tanah, supaya tidak melihatnya, sebab kalau ayah melihat nanti akan merasa
kasihan. Lepaskan bajuku, agar tidak terkena darah yang nantinya menimbulkan
kenangan yang menyedihkan. Asahlah tajam-tajam pisau ayah, agar penyembelihan
berjalan singkat, sebab sakaratul maut dahsyat sekali. Berikan bajuku kepada
ibu untuk kenang-kenangan serta sampaikan salamku kepadanya supaya dia tetap
sabar, saya dilindungi Allah SWT, jangan cerita bagaimana ayah mengikat
tanganku. Jangan izinkan anak-anak sebayaku datang kerumah, agar kesedihan ibu
tidak terulang kembali, dan apabila ayah melihat anak-anak sebayaku, janganlah
terlampau jauh untuk diperhatikan, nanti ayah akan bersedih.”
Nabi Ibrohim menjawab ”baiklah anakku, Allah swt akan
menolongmu”. Setelah ismail, putra tercinta ditelentangkan diatas sebuah batu,
dan pisaupun diletakkan diatas lehernya, Ibrohim pun menyembelih dengan menekan
pisau itu kuat-kuat, namun tidak mempan, bahkan tergorespun tidak.
Pada saat itu, Allah swt membuka dinding yang menghalangi
pandangan malaikat di langit dan dibumi, mereka tunduk dan sujud kepada Allah
SWT, takjub menyaksikan keduanya. ”lihatlah hambaku itu, rela dan senang hati
menyembelih anaknya sendiri dengan pisau, karena semata-mata untuk memperoleh
kerelaanku.
Sementara itu, Ismail pun berkata : ”ayah.. bukalah ikatan
kaki dan tanganku, agar Allah SWT tidak melihatku dalam keadaan terpaksa, dan
letakkan pisau itu dileherku, supaya malaikat menyaksikan putra kholilullah
Ibrohim taat dan patuh kepada perintah-Nya.”
Ibrohim mengabulkannya. Lantas membuka ikatan dan menekan
pisau itu ke lehernya kuat-kuat, namun lehernya tidak apa-apa, bahkan bila
ditekan, pisau itu berbalik, yang tajam berada di bagian atas. Ibrohim mencoba
memotongkan pisau itu ke sebuah batu, ternyata batu yang keras itu terbelah.
”hai pisau, engkau sanggup membelah batu, tapi kenapa tidak sanggup memotong
leher” kata ibrahim. Dengan izin Allah SWT, pisau itu menjawab, ”anda katakan
potonglah, tapi Allah mengatakan jangan potong, mana mungkin aku memenuhi
perintahmu wahai ibrahim, jika akibatnya akan durhaka kepada Allah SWT”
Dalam pada itu Allah SWT memerintahkan jibril untuk mengambil
seekor kibasy dari surga sebagai gantinya. Dan Allah swt berseru dengan
firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannya, tidak usah diteruskan
pengorbanan terhadap anaknya. Allah telah meridloi ayah dan anak memasrahkan
tawakkal mereka. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan
penyembelihan seekor kambing sebagai korban.
Pembaca sekalian,
Ayah adalah penyangga, harapan, belahan jiwa, nasab, pertaruhan, prestise, guru, inspirasi, rasa hormat, dirindukan dan entah apa lagi. Anak adalah harapan, belahan jiwa, qurrota’ayn, nasab, pertaruhan, kesenangan, cobaan, musuh, dirindukan, inspirasi dan entah apalagi. Pola hubungan keduanya sangat khas. Meskipun kadang pasang surut, dominasi rasa cinta biasanya lebih menggunung dari sekedar riak kecil rasa sesal. Jika pun ada yang berakhir tragis, itu tidak lebih sebagai peristiwa yang keluar dari garis fitrah yang jumlahnya hanya sepersekian dari kelaziman. Kelaziman di mana antara ayah dan anak adalah dua cinta yang bertaut darah.
Ayah, betapa ia dirindukan. Anak sungguh ia dirindukan. Nabiullah Ibrahim adalah pecinta yang paling bersih, di mana rasa cintanya pada Allah melebihi segala-galanya, meskipun kepada Ismail yang telah lama ia nantikan kehadirannya. Kita pasti pernah diberi tahu, bahwa kehadiran Ismail baru ada di saat Ibrahim telah lenjut. Usia yang menurut logika dan persangkaan Ibrahim sendiri adalah fase di mana sangat mustahil ia beroleh anak. Maka betapa gembira pada akhirnya, bahwa ia mendapatkan Ismail yang saleh dan sabar.
Cinta Ibrahim atas Ismail bukanlah cinta buta, tetapi cinta dalam visi mahabbah fillah sehingga mantap mengasah pisau untuk memutus leher anaknya. Tidak ada cerita, Ismail menjadi kabut yang menghalangi dirinya melihat hakikat kebenaran betatapun ia sayang pada Ismail setinggi langit. Tidak seperti segelintir orang tua di zaman ini yang khilaf menjadi koruptor hanya karena bahasa sayang kepada anak yang merengek mobil baru.
Cinta Ismail atas Ibrahim bukan pula cinta palsu, tetapi cinta dalam visi mahabbah fillah sehingga tak gentar menyerahkan lehernya. Tidak ada cerita ia mengelak dari Ibrahim sambil menghujat ayahnya
itu sebagai sangar, bengis dan kejam. Tidak seperti segelintir anak di zaman ini yang khilaf menitipkan orang tuanya di panti jompo setelah ia ringkih dan pikun.
Pada akhirnya, Ibrahim dan Ismail sama-sama rela berkorban dan dikorbankan atas nama cinta. Cinta pada Yang Maha Mencintai. Tak ada yang tega seorang ayah akan mengalirkan darah anaknya. Tetapi
demi memenuhi hasrat cinta pada Allah, dijawab juga perintah Allah itu untuk menyembelih Ismail. Subhanallah, Allah lebih memahami dari apa dan siapapun bahwa cinta ayah dan anak amatlah subur. Maka Allah mengganti leher Ismail dengan Kibas yang subur pula.
Saya, kita semua para ayah, tak akan pernah bisa sebanding mengukur cinta pada Allah dengan mengambil patron Ibrahim soal penyembelihan dan darah. Anak-anak kita, tak akan pernah bisa sebanding mengukur cinta pada Allah dengan mengambil patron Ismail soal penyembelihan dan darah. Satu-satunya yang sanggup kita tumpahkan dari darah anak lelaki kita untuk Allah, dan satu-satunya darah yang sanggup diberikan anak lelaki kita untuk Allah, hanyalah tetesan darah khitan. Saat kulupnya kita korbankan agar ia menjadi bersih jasad dan ruhaninya. Dan lagi-lagi, kita pun mengambil teladannya dari Nabiullah Ibrahim ‘alaihissalam.
Sekarang dan seterusnya, “Ismail” bagai simbol bagi sesuatu yang amat kita cintai dan kita sudah barang tentu memilikinya dalam wujud apapun. Boleh jadi “Ismail” kita mengambil bentuk kendaraan baru, rumah mewah, jabatan penting, deposito, atau kekayaan lainnya. Apakah kita sudah rela mengorbankan cinta atas “Ismail”-“Ismail” simbolik itu untuk mencapai tujuan hidup sebenarnya, yaitu merebut cinta Allah?
Taruhlah kita sebagai suami, sudah sanggupkah kita meniru ketangguhan nabi Ibrahim, mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya demi mengamalkan perintah Tuhan?
Taruhlah kita sebagai istri, sudah sanggupkah kita meniru ketabahan dan ketaatan Siti Hajar, yang merelakan suaminya menjalankan perintah Tuhan dan menghargai jiwa besar Ismail? Dan taruhlah kita sebagai anak, sudahkah kita memiliki idealisme yang militan seperti Ismail yang rela menjadi korban atas nama cinta pada Tuhannya?
Seyoganya untuk belajar cinta dari teladan ketiganya. Semoga kita bisa.
”Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia…” (QS. Al-Mumtahanah [60] : 4).
----------
Ditulis dari banyak sumber dengan sedikit revisi...
Semoga menjadi sumur pahala bagi para penulis aslinya...