Home »
» Materi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, BENARKAH...???
Materi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, BENARKAH...???
---
Pada prinsipnya, setiap sains dibangun di atas tiga dasar utama, yaitu pondasi atau pilar ontologi, aksiologi, dan epistomologi. Untuk mengetahui nilai yang dibawa oleh suatu sains, termasuk sains modern, kita perlu melihat pondasi bangunan sains modern tersebut. Dari sini akan terlihat ketidaknetralan suatu sainsn dan implikasi filosofis dan sosialnya.
Pilar ontologi terkait dengan subjek atau realitas apa yang (dianggap) ada dan dapat dikaji atau diketahui. Aksiologi terkait dengan tujuan suatu ilmu pengetahuan, untuk apa. Sedangkan epistomologi berhubungan dengan cara dan sumber suatu pengetahuan, dengan apa atau bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh. Ketiga pilar inilah yang menentukan karakteristik suatu sains, yang membedakan satu sains dengan sains yang lain.
Materialisme ilmiah menjadi inti sari ontologi sains barat, realitas hanya terdiri dari materi, ruang, dan waktu. Tidak ada lagi selain itu. Jiwa hanyalah sekumpulan materi, berpikir hanyalah proses material belaka. Tuhan hanya imajinasi manusia yang lemah dan tak berdaya. Sementara itu, malaikat dan setan dianggap sebagai lompatan agen bagi mereka yang tidak mampu menjelaskan aneka fenomena alam secara logis dan ilmiah.
Materialisme telah menjadi dogma disetiap pengajaran ilmu pengetahuan alam. Murid-murid menghafalkan, "Materi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan." Pernyataan sederhana ini mempunyai implikasi sangat serius bagi seorang muslim.
Ajaran Islam tersari dalam prinsip tauhid laa ilaaha illallah yang terdeskripsikan dalam Rukun Iman dan Rukun Islam. Seluruh bangunan pemikiran dan peradaban Islam bertumpu pada dua pilar utama ini. Rukun Iman terdiri dari enam keyakinan, yaitu yakin pada keberadaan Allah, malaikat, nabi, kitab, hari akhir, dan qadha-qadar.
Materialisme yang diajarkan dalam ilmu pengetahuan alam jelas berbenturan dengan Rukun Iman. Materi tidak dapat diciptakan berimplikasi bahwa materi ada dalam keabadian masa lalu tanpa awal penciptaan, yang berarti tidak memerlukan peran Sang Pencipta. Suatu ketika, seusai menerbitkan buku tentang alam semesta, Pierre Laplace didatangi Napoleon Bonaparte yang menanyakan tentang satu hal, yakni mengapa dalam buku tersebut Laplace tidak sekalipun menyebut Tuhan. Laplace menjawab dengan ringan, dia tidak membutuhkan hipotesis tentang Tuhan bagi keberadaan alam. Keberadaan dan peran Tuhan Allah ditolak oleh prinsip materialisme ilmiah.
Materi tidak dimusnahkan berimplikasi pada penolakan Kiamat sebagai akhir perjalanan dunia. Penolakan Kiamat juga berarti penolakan akan Hari Kebangkitan dan Perhitungan Amal setiap orang. Karena Hari Akhir tidak ada, pelanggaran norma terus meluas.
Dalam perspektif Islam, materialisme ilmiah menolak jantung Rukun Iman, yakni keyakinan akan peran Allah sebagai Pencipta segala sesuatu. Materialsime juga menolak Rukun Iman kelima tentang Hari Akhir yang ditandai dengan kehancuran materi. Padahal, setiap Muslim harus menerima keseluruhan Rukun Iman, tanpa terkecuali. Penolakan, meskipun hanya satu bagian, berarti kufur. Materialisme ilmiah membawa kepada kekufuran.
Materialisme ilmiah dan Rukun Iman tidak dapat duduk berdampingan dengan normal karena keduanya bertentangan. Penerimaan keduanya secara bersamaan akan menimbulkan paradoks. Masyarakatnya beragama, termasuk Islam, tetap kesehariannya mengembangkan hidup asusila. Selain itu, pemaksaan menerima keduanya secara bersamaan akan melahirkan sikap mendua dan inkonsistensi berpikir karena dua hal tersebut bertentangan.
---
Dikutip dari Nalar Ayat-ayat Semesta Karya Agus Purwanto, D.Sc hal. 185-187