Ternyata, rasa bisa dipengaruhi oleh cinta...

---
Pertengahan 2012, tgl 19-21 Mei 2012 saya melakukan perjalanan panjang. Menemui seseorang, belahan jiwa, yang mampu "memaksa" raga ini untuk menempuh perjalanan jauh menembus belantara hutan Kalimantan, terbang menyeberangi lautan, meraba panasnya ibu kota, kemudian melanjutkan perjalanan 3 jam hingga tiba di satu desa yang asri. Semilir anginnya menyambut langkahku, menghempaskan debu yang tersisa.
Ketika sudah berada di depan rumahmu, ku edarkan pandangan berkeliling. Ku tak percaya, apakah ini nyata atau ilusi. Namun keterfanaanku tidak butuh waktu lama, ketika sapaan lembut dari wanita paruh baya, yang ternyata adalah ibumu, mempersilakan ku masuk.
Hmmm... Engkau dimana ya...? Apakah tidak bersedia menerima kedatanganku, setelah sebelumnya ku janjikan keberangkatan tetapi tertunda lebih dari satu bulan...?
Ku lepas perlahan sepatu safety ku. Sepatu ini berselaput tanah kuning area perkebunan, belum sempat ku bersihkan. Aku berangkat tanpa persiapan, bahkan sekedar surat cuti pun tidak ada. Hati ini gundah, ketika ku dengar suara mu di seberang sana menyangsikan ketulusanku, walau hanya datang untuk bertamu.
---
Singkat cerita, setelah berbasa basi sejenak engkau menawarkan minuman...
"Kanda, mau minum apa? Teh atau kopi...?
"Kopi saja Dinda..."
"Kopi kemasan nggak apa ya Kand...?"
Aku pun mengangguk...
Engkau pun keluar sebentar, tak lama kemudian kembali dengan membawa serenteng kopi sachet.
"Silakan Kanda", katamu sambil menyuguhkan secangkir kopi.
"Dinda tinggal sebentar ya..."
---
Ku tatap secangkir kopi yang engkau hidangkan, dalam hati bertanya; kopinya kok putih ya...? bukankah yang namanya kopi biasanya hitam...? Hmmm mungkin dicampur dengan susu.
Ku angkat perlahan cangkirnya, tercium aroma yang berbeda dari aroma kopi yang sudah lama kukenal. Ku hirup perlahan, tidak ada rasa susu, bahkan tidak ada rasa kopi seperti biasanya. Ah... sudahlah, tidak mungkin orang yang kucintai menghidangkan sesuatu yang akan membuatku celaka. Ku nikmati setiap tegukan demi tegukan, entah apa yang dia tambahkan, setiap tetes yang diminum semakin menguatkan keinginan untuk merasakan tetesan-tetesan berikutnya.
Tidak lama engkau pun keluar...
"Oww... Kanda haus ya..?" Katamu ketika melihat isi cangkirnya yang sudah berkurang lebih dari setengah.
Aku serba salah, terpaksa ku jawab jujur.
"Iya, tadi diperjalanan tidak membawa minuman... Oiya, ini kopi apa ya...?"
Obrolan pun berlanjut, mulai dari yang biasa, sampai proyeksi masa depan berdua. Tiga hari bersamamu, bagaikan berada di lingkar antartika, dimana hangat dan dingin bertemu, menciptakan keselarasan rasa, menghasilkan dilatasi waktu yang terasa singkat namun penuh makna.
---
Sepulang dari rumah mu, selain beraneka cerita kita yang kubawa, rasa kopi itu begitu melekat di jiwa, seolah menyatukan hati kita yang terpisahkan oleh jarak. Setiap kali kopi ini kuseduh, serasa engkaulah yang membuatnya. Engkau juga yang menemaniku minum dengan canda dan senyum mu.
Bahkan setelah kita berpisahpun, aku selalu merindukan kebersamaan itu, dan... kopi inilah pengobatnya, menemani pagi dan malamku. Rasanya memacu semangatku untuk terus berharap dan berdoa, agar kita bisa kembali bersama. Asa ini mengkristal, menembus ruang dan waktu yang menjadi alasan perpisahan kita. Sekaligus menutup mata dan pintu hati ini bagi gadis yang lain, tidak ada lagi porsi di jiwa untuk mereka.
Namun, takdir berkata lain. Sekitar bulan Juli 2014, aku mendapat informasi bahwa engkau akan melepas masa lajangmu. Bersama seorang pria lain, yang tentu adalah pilihan terbaikmu. Beberapa hari kemudian, ku intip berandamu. Foto sampul dan profile mu sudah berganti. Tidak, hati ini tidak menangis. Walaupun ada mutiara bening yang mengalir, itu tidak lebih hanya sebatas ungkapan perasaan, menyesali kegagalan dan keterlambatanku dalam mengeksekusi sebuah keputusan. Engkau sudah berkorban waktu cukup banyak menanti kedatanganku. Ketidakmampuankulah yang menjadi penyebab engkau mengambil keputusan pahit mengakhiri hubungan kita.
Dari lubuk hati terdalam, ku mendoakan mu. Engkau mengajariku banyak hal. Selama ini aku mahir dalam leadership, ternyata baru sebatas teori, namun masih nol besar dalam tindakan. Aku pandai dalam wacana, tetapi nihil kerja nyata. Engkau mendobraknya, menghancurkan dinding es itu. Walau bukan dalam kebersaman, tetapi dengan perpisahan.
Penyesalan ini pun ingin ku obati, bersama secangkir kopi yang selama lebih dari dua tahun menemaniku semenjak secangkir pertama yang engkau suguhkan. Tetapi aku terhenyak, mendadak rasanya menjadi berubah. Cepat ku cari bungkusnya, melihat tanggal kadaluarsanya. Masih lama. Ku seduh sachet yang lain, ku tarik nafas panjang sebelum kemudian ku minum. Rasanya sebenarnya masih sama, namun agak terasa sedikit berbeda. Ku buka laptop, ku cari fotomu. Mungkin dengan cara ini, aku kembali bisa menghadirkan sosokmu di depanku. Iya, sosok mu kembali hadir. Namun dalam "panorama" yang berbeda. Engkau seolah melambaikan tangan tanda perpisahan. Seakan berbisik; "Sudahlah Kand, relakan kepergianku. Masa depan kita masih panjang. Kita akan terus bersama menulis masa depan kita, walau dengan pasangan yang berbeda."
Ku termenung, mungkin ini penyebabnya. Kopinya sama, merknya sama, cara penyajiannya sama, tidak ada yang berbeda. Hanya suasana hati yang sudah tidak lagi menemukan frekuensi yang sama. Sehingga mempengaruhi rasa dan asa.
---
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Comments

Recent

About Me

Foto saya
Kita tidak akan mendapatkan hasil berbeda, jika tetap melakukan hal yang sama...

Bottom Ad [Post Page]

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Full width home advertisement