---
Dari lubuk hati terdalam, tentu pasti ada keinginan. Saya yakin, semua laki-laki normal memiliki keinginan itu, tinggal keberanian, kemampuan dan faktor emosional saja yang membatasi.Bagaimana dengan saya...? keberanian punya, kemampuan ada. Hanya faktor emosional yang membuat saya berpikir ulang.
Bagaimanapun, dulu istriku bersedia menerimaku apa adanya, pada saat susah. Bukan susah dalam artian ekonomi, tetapi susah dalam dalam artian berbeda. Waktu menikah dulu, saya terhitung sudah mapan. kerja ada, karir jelas, gaji dan tunjangan di atas rata-rata sebagai karyawan perusahaan sawit nasional. Uniknya, tidak ada gadis lain yang bersedia untuk menerima saya. Jadi, susah disini adalah susah jodoh, sering ditolak oleh target pujaan.
Saya sempat evaluasi diri (setelah menikah), apa penyebabnya.
Faktor usia...? tidak, banyak yang lebih tua dari saya sukses memboyong daun muda, bahkan status mereka sudah bukan perjaka lagi seperti saya. "Istrinya" ada dimana-mana dan masih ada juga peminatnya.
Faktor isi dompet...? tidak juga. Penghasilan saya waktu itu sudah lebih dari cukup untuk ukuran keluarga kecil sejahtera.
Faktor yang paling mungkin adalah tunggangan (motor). Kemana-mana saya menggunakan Vega-R, merk motor kelas low end karena harganya yang merakyat. Saya berpikirnya simple, pekerjaan saya adalah quality control, yang setiap harinya masuk-keluar blok untuk chek n ricek kegiatan perkebunan. Tentu lucu jika harus menggunakan Ninja, R150 atau CBR dengan kondisi jalan perkebunan yang licin dan berlumpur. Saya pun tidak berpikir untuk membeli motor mewah, pasti mangkrak terus di dalam garasi, karena minggu pun saya biasa lembur kerja. Saat itu, saya sempat merekrut satu orang gadis yang sempat dekat di hati untuk dijadikan admin di kantor Estate. Ternyata saya hanya dimanfaatkan, setelah resmi diterima kerja, saya pun ditinggalkan.
Saya bersyukur, di tengah kondisi gundah gulana, atasan dan rekan kerja saya memberikan support. Kasie (Kepala Administrasi) memperikan opsi, jika ingin mencari istri, carilah yang pegawai negeri. Estate Manager pun memberikan saran, istri itu bukan sekedar pajangan, namun teman suka dan duka dalam menghadapi masa depan.
Di saat yang bersamaan, komunikasi dengan istri (yang waktu itu masih calon), cukup intens walau hanya sekedar say hello. Tidak ada yang istimewa sebenarnya, karena saya biasa seperti itu dengan adik-adik tingkat saya. Namun, dari yang awalnya hanya "say hello" terus berlanjut, hingga akhirnya saya memutuskan untuk bertemu orangtuanya 3 bulan kemudian, bahkan sebelum saya bertemu langsung dengannya (terakhir bertatap mata 10 tahun sebelumnya), dan 6 bulan berikutnya kami pun menikah.
Saya sering bilang ke istri, dia adalah pelarian, yang berakhir menjadi persinggahan dan tempat menautkan hati tanpa penolakan. Itulah yang membuatku mampu mengabaikan karir, resign dari perusahaan agar tetap bisa dekat, merasakan terus getaran-getaran cinta sebagai buah dari kebersamaan, dan tentunya getaran-getaran ini sudah ter-enkripsi, berada pada frekuensi yang sama, yang hanya memungkinkan 2 hati saja yang menyatu, tanpa noise dan frekuensi pengganggu.
---
Istriku tercinta Fitri Doyo