---
Salah satu "penyakit" yang dulu sempat saya derita ketika memahami teks-teks skriptual adalah semuanya harus bisa dilogikakan, harus logis dan memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Kajian-kajian terhadap tekstual-literal-skriptual harus dibacking oleh seseorang yang punya bidang keilmuan serumpun (misal ayat-ayat tentang astronomi harus dikaji oleh ahli astronomi) dan didukung oleh landasan argumen yang legitimate dan charismatic. Pola pikir ini kemudian mendorong saya untuk lebih memihak kepada konsep-konsep kontemporer dan menerima konsensus bahwa dalil-dalil tersebut harus di redefinisikan atau ditafsirkan ulang mengikuti perkembangan sains dan teknologi kekinian, sehingga saya cendrung menolak literasi-literasi klasik. Sejak saat itu, saya begitu terbuai denga kaidah-kaidah free thinker yang dengan bebas menafsirkan dalil mengikuti perkembangan zaman dan tidak terikat oleh konsep-konsep umum dan khusus yang sudah dibangun oleh peradaban Islam sejak era kenabian. Sebagai contoh; saya begitu terpesona dengan konsep exoplanet atau kehidupan ekstrateritorial layaknya manusia yang menyitir surat asy-Syura ayat 29 atau al-Anbiya ayat 104 (dan tentunya melupakan Surat Al-A'raf ayat 25).
Pemahaman ini, kemudian terjun bebas setelah saya menemukan beberapa fakta menarik, tidak semua dalil-dalil tersebut harus logis, dan baru akan nampak sangat logis setelah kita menjalaninya. Hal ini disebabkan tafsir/penjelasan yang disampaikan/kita terima tidak bersesuaian dengan kehendak dari Sang Pemilik Kalam, namun hari ini dipaksakan sebagai sebuah kebenaran. Atau bisa juga kita menolak sebuah tafsir/penjelasan karena berbeda dengan basis ilmu dan pemahaman kita, padahal itu lah penjelasan yang benar.
Intinya sederhana, kita yang belum berada pada level ahli ilmu memang harus mengikuti ulama/guru. Namun bukan berarti kita harus memandang keliru kepada orang yang berada di luar kelompok kita, terlebih jika dia adalah muslim.