---
Hari ini adalah pekan kedua saya pulang kampung. Alhamdulillah dapat beristirahat sejenak setelah mendapat cuti 2 minggu dari kampus. Bertemu orang tua, keluarga dekat, sekaligus mengajak piknik istri dan anak-anak ke desa.
Di kampung, saya sebenarnya ingin beristirahat dari dunia maya. Namun lonceng pemberitahuan selalu menunjukkan digit-digit angka yang memaksa jemari untuk meng-kliknya. Beranda yang sudah hampir 1 minggu kutinggalkan ramai, dengan serba-serbi perbincangan. Satu tema yang menarik perhatian, tentang tahlillan dan kuburan. Masih ada saja yang mengangkatnya, pada hal bahasan ini adalah tema lama yang sudah selesai di kaji, kita sebagai generasi kekinian, tidak perlu lagi berdebat terkait dengan hukum. Cukup pilih saja, perdalam kemudian putuskan mau ikut yang mana, tanpa harus menghakimi, menuduh sesat saudara seiman.
---
Saya sebenarnya menghindari diskusi seputaran bid'ah dan seterusnya. Tetapi sekitar 4 hari yang lalu, ibu saya meminta untuk membersihkan makam kakek, yang kebetulan berada di bawah pohon yang rindang, sehingga daunnya banyak terkumpul di bawahnya. Selama 2 hari, saya mengangkut dan kemudian membakar dedaunan itu agak ke pinggir di luar area pemakaman. Tidak full day, hanya siang hari saja. Karena kondisinya masih hutan, nyamuknya benar-benar ganas. Sehingga saya tidak mau datang terlalu pagi atau terlalu sore. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah, mungkin karena masih tertutupi rimbunnya pepohonan, membuat species nyamuk betah untuk tinggal disana.
Jika sebelumnya saya hanya sekedar berziarah dan bersih-bersih, namun kali ini logika saya terpanggil untuk menelisik lebih jauh terkait dengan budaya-budaya seputar kuburan di kampung saya. Apakah budaya-budaya tersebut bertentangan dengan dalil (bid'ah), masih dapat di toleransi, atau memang seharusnya begitu...??
Saya mencoba mencatat beberapa hal, yang menjadi kebiasaan di kampung saya. Sekaligus saya juga, mencoba menemukan jawaban mengapa hal tersebut dilakukan turun temurun, dan kemudian berubah menjadi budaya. Harapan saya, setelah membaca tulisan ini, kita tidak gampang menghakimi sesat (bid'ah) saudara-saudara kita, melainkan mencoba melihatnya secara proporsional, termasuk alasan logis di belakang perbuatan tersebut.
1. Memasang tenda di atas makam saudara/ortu yang baru meninggal (bisa sampai 2 minggu bahkan lebih).
Hal ini dilakukan karena alasan sederhana, hujan. Tenda itu bukan untuk melindungi mayat dari kedinginan/basah. Tetapi untuk menjaga agar tanahnya tidak longsor dikarenakan rembesan air hujan.
2. Menembok kuburan, biasanya dengan semen/batako atau papan setinggi 15-20 cm di sekililing (satu) kuburan.
Budaya ini juga terhitung logis. Saya perhatikan, area pemakaman di kampung saya, kontur tanahnya miring, karena termasuk lokasi dataran tinggi perbukitan. Karena konturnya ini, air mengalir bebas saja di sela-sela akar pepohonan. Area pemakaman pun sedikit-demi sedikit terkikis. Beberapa di antaranya ada yang sudah terkikis lebih dari 30 cm. Jadi saya paham, mengapa tembok itu perlu dibangun. Bukankah bisa dengan parit saja..?? Benar, tetapi ada sedikitnya 2 alasan mengapa parit kurang efektif; 1) Paritnya bisa tertutup oleh dedaunan; dan 2) jalur airnya sulit karena di bawahnya ada kuburan lagi.
3. Memagari kuburan
Ini juga tidak bertentangan dengan dalil, bahkan upaya untuk menegakan dalil itu sendiri. Saya sering menghadiri pemakaman, dan kebanyakan dari pelayat ini memilih duduk di area kuburan bahkan di tengah kuburan tersebut. Dengan memagarinya, maka memperkecil kemungkinan orang duduk di dalamnya.
4. Acara 3 hari, 7 hari, 25 hari, dan 40 hari (jenis hidangannya disesuaikan dengan hitungan hari tersebut).
Di kampung saya, ini adalah rutinitas jika ada sanak saudara meninggal. Ritualnya sederhana, masing-masing keluarga membawa bahan makanan, di masak bersama, di makan bersama dan ditutup dengan doa. Pertanyaannya; 1) mengapa harus 3, 7, 25 dan 40....?; 2) mengapa jenis hidangannya di tentukan....??
MANA dalilnya??? mungkin akan begitu komentar kita jika tidak paham kondisi.
Di kampung saya, kebanyakan adalah petani. Dalam 1 tahun, jarang ada yang menetap penuh di kampung. Kebanyakan menghabiskan 6-8 bulan di area perkebunan/ladang yang berjarak sekian kilometer, bahkan sampai puluhan kilometer yang biasanya di tempuh dengan jalan kaki. Belum lagi jika ada yang menikah beda desa, terpisah jarak yang lumayan jauh. Penentuan hari ini adalah pengingat bagi keluarga dekat yang meninggal. Sehingga tidak perlu lagi diundang. Jaman dulu, di kampung saya, satu-satunya cara komunikasi ya harus bertemu. Makanya tanpa sistem kalender seperti ini, hampir mustahil untuk mengumpulkan sekian anggota keluarga yang tersebar. Bagaimana dengan hidangannya....??? Ini juga alasannya sederhana, agar memudahkan memasaknya. Coba bayangkan ada 10 anggota keluarga datang, membawa bahan makanan untuk menu berbeda. Ribet masaknya, belum lagi jumlahnya yang serba sedikit tentu tidak efektif. Sehingga disepakatilah menunya dengan tujuan untuk kemudahan...
---
InsyaAllah bersambung...