BAHTERA, DI TENGAH SAMUDERA KEPERCAYAAN

Debu berterbangan. Tanah kering membelah di bawah kaki para pekerja. Di tengah padang yang tak menyentuh laut, tak bersentuhan dengan sungai, sebuah kapal raksasa sedang dibangun.
Dari kejauhan, manusia berkumpul. Menonton. Menertawakan. Mereka tidak percaya pada apa yang disebut hujan besar. Mereka tidak kenal istilah banjir semesta. Mereka merasa aman dalam dunia kecilnya yang dipenuhi tawa dan kesombongan.
"Dan setiap kali para pemuka kaumnya melewati Nabi Nuh, mereka mengejeknya..." (QS. Hud: 38)
Mereka berdiri di sekeliling proyek besar itu seperti menonton sebuah pertunjukan sirkus. Dan Nabi Nuh ‘alayhis salam, dengan sabar yang tak terkira, tetap bekerja. Tak ada waktu untuk menjawab ejekan. Tak ada ruang untuk membalas cercaan. Karena yang dibangun bukan sekadar kapal, tapi takdir.
"Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami pun akan mengejek kamu sebagaimana kamu mengejek (kami)." (QS. Hud: 38)
Waktu itu, keimanan menjadi komoditas paling langka. Ratusan tahun Nuh menyeru, mengajak, mengulurkan tangan. Tapi yang menggenggamnya hanya segelintir. Sisanya memilih menutup telinga dan mata hati mereka.
"Dan tidak beriman bersama Nuh kecuali sedikit." (QS. Hud: 40)
Sebagian dari mereka yang tidak beriman adalah saudara, tetangga, anak dan istri. Ketika iman tak menyala, darah tak mampu menyelamatkan. Bahkan seorang nabi pun tak mampu memberi hidayah kepada orang yang ia cintai jika Allah telah mengunci hatinya.
"Wahai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir." (QS. Hud: 42)
Namun sang anak memilih tebing, merasa aman berada di ketinggian.
"Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat melindungiku dari air." (QS. Hud: 43)
Begitulah mereka semua. Membangun gunung-gunung harapan dari logika dan akal semata, lalu menolak petunjuk karena bentuknya tak lazim.
Di saat Nuh membangun kapal dengan perintah ilahi, mereka membangun benteng-benteng ejekan dan tawa. Mereka tidak lapar dalil, karena mereka kenyang dengan kesombongan.
Kapal itu dibangun sedikit demi sedikit. Bukan hanya dengan kayu, tetapi dengan sabar. Bukan hanya dengan paku, tetapi dengan doa. Bukan hanya dengan kerja, tetapi dengan iman yang teguh tak tergoyah.
"Sesungguhnya Aku akan membinasakan mereka dengan banjir besar. Dan buatlah kapal itu di bawah pengawasan dan petunjuk-Ku." (QS. Hud: 37)
Terkadang ada yang lewat, tertawa. Anak-anak melempar batu. Ada yang menyebutnya gila.
Namun hati yang sudah digenggam oleh cahaya, tak bisa digoyah oleh suara sumbang. Nuh tidak bekerja untuk manusia—ia bekerja untuk amanah dari Sang Maha Pencipta.
Lalu hari itu tiba. Langit memerah, bumi mengguncang. Dan ketika perintah turun...
"Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata airnya..." (QS. Al-Qamar: 11-12)
Tak ada lagi waktu tertawa. Semua berubah menjadi ratapan. Tapi pintu sudah tertutup. Banjir itu bukan hanya air. Ia adalah keputusasaan.
Di dalam bahtera, tak ada nyanyian kemenangan. Hanya tangisan syukur dan hening yang panjang. Sebab terlalu banyak yang hilang. Bukan karena tidak diperingatkan, tapi karena tidak pernah mau mendengar.
"Dan janganlah kamu memohon kepada-Ku tentang orang-orang yang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan." (QS. Hud: 37)
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Comments

Recent

About Me

Foto saya
Kita tidak akan mendapatkan hasil berbeda, jika tetap melakukan hal yang sama...

Bottom Ad [Post Page]

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Full width home advertisement