Manusia lebih cenderung menghindari rasa takut dan penderitaan daripada mengejar kebahagiaan. Naluri ini begitu kuat hingga kerap membuat seseorang rela mengorbankan nilai, prinsip, bahkan kesetiaan demi mempertahankan apa yang sudah dimilikinya. Tidak sedikit orang yang memilih berkhianat bukan karena mereka ingin mengkhianati, tetapi karena mereka takut kehilangan zona nyaman yang telah mereka bangun dengan susah payah.
Bayangkan, seorang yang selama ini dihormati karena posisinya, tetapi suatu hari dihadapkan pada pilihan sulit: tetap teguh pada kebenaran atau tunduk pada kekuasaan demi menjaga kedudukannya. Ketakutan akan kehilangan wibawa, gaji, atau status sosial bisa membuatnya goyah. Ia mungkin tahu bahwa yang benar harus ditegakkan, tetapi ketakutan membisikinya bahwa kebenaran itu terlalu mahal untuk diperjuangkan. Maka, tanpa sadar, ia memilih jalan yang lebih "aman", membiarkan kezaliman terjadi, menutup mata atas kebohongan, atau bahkan mengkhianati orang-orang yang dulu ia perjuangkan.
Namun, ironi terbesar dari pengkhianatan adalah bahwa ia tidak benar-benar menyelamatkan seseorang dari penderitaan. Sebaliknya, ia justru menanam benih kecemasan yang tak kunjung padam. Pengkhianatan mungkin menyelamatkan harta, jabatan, atau reputasi untuk sementara, tetapi di balik itu, ada bayang-bayang ketakutan yang lebih besar: ketakutan akan terbongkarnya dusta, ketakutan akan balasan dari hati yang dikhianati, dan yang paling dalam, ketakutan akan kehilangan dirinya sendiri.