KETIKA KATA MENJADI SENJATA

"Menjelang datangnya Kiamat akan terjadi fitnah seperti potongan malam yang gelap, di mana seseorang pada pagi hari beriman dan pada sore hari menjadi kafir, atau pada sore hari beriman dan pada pagi hari menjadi kafir. Orang yang duduk saat itu lebih baik daripada yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Maka, patahkanlah busur-busur kalian, potonglah tali-tali busur kalian, dan pukullah pedang-pedang kalian dengan batu. Jika seseorang mendatangi rumahmu, maka jadilah seperti sebaik-baik anak Adam." (HR. Abu Dawud no. 4259)
Hadits ini, meskipun dinilai lemah oleh sebagian ulama, menyimpan pesan moral yang begitu dalam. Rasulullah ﷺ memberikan peringatan bahwa akan datang masa di mana fitnah begitu pekat, memutarbalikkan keimanan dalam sekejap. Di era digital yang penuh hiruk-pikuk informasi ini, badai fitnah tidak lagi berbentuk kekacauan fisik, tetapi menjelma dalam derasnya arus opini, propaganda, dan disinformasi. Apa yang dahulu disabdakan Rasulullah ﷺ tentang badai fitnah kini dapat kita saksikan dalam bentuk perdebatan tak berkesudahan di media sosial, berita yang dimanipulasi, serta ujaran kebencian yang menyulut permusuhan.
Jika kita cermati, hadits ini bukan sekadar berbicara tentang konflik fisik, tetapi juga relevan dalam menghadapi badai fitnah di era modern. Kini, pedang yang dimaksud tidak selalu berbentuk senjata, tetapi juga lisan yang tajam dan jemari yang tak terkendali. Media sosial telah menjadi arena perdebatan tanpa batas, tempat di mana kebenaran dan kebatilan bercampur, dan emosi lebih sering berperan dibandingkan akal sehat. Fitnah yang dahulu mungkin hanya menyebar dari mulut ke mulut, kini menjalar dengan cepat melalui layar-layar perangkat kita, menciptakan kebingungan dan memicu permusuhan tanpa ujung.
Maka, makna dari hadits ini semakin terasa di zaman ini. Di tengah derasnya arus informasi, kita harus lebih selektif dalam bersikap. Tidak semua yang berbeda perlu diperdebatkan, dan tidak semua yang salah harus dibalas dengan kemarahan. Kadang, diam dan menahan diri jauh lebih mulia daripada melibatkan diri dalam polemik yang hanya memperkeruh keadaan.
Di saat fitnah datang menyelimuti, pilihan ada di tangan kita: terus terjebak dalam arusnya atau memilih untuk menepi dan menjaga kejernihan hati. Menahan diri bukan berarti lemah, tetapi justru menunjukkan kedewasaan dan kebijaksanaan. Kini, lebih dari sebelumnya, kita dituntut untuk menjaga hati, lisan, dan jemari dari pertikaian yang hanya menggerus nilai-nilai kebaikan dalam diri kita. Sebab, yang benar tak akan pudar hanya karena tak dibela dengan kata-kata, dan yang salah tak akan berubah hanya karena diperdebatkan tanpa jeda.
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Comments

Recent

About Me

Foto saya
Kita tidak akan mendapatkan hasil berbeda, jika tetap melakukan hal yang sama...

Bottom Ad [Post Page]

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Full width home advertisement