Ia berjalan, pelan,
di ujung titian yang tak semua berani melintas.
Dulu ia berdiri paling depan,
Hari-harinya diwarnai dzikir dan amanah,
berbalut kepercayaan, dan kedekatan yang tak biasa.
Namun zaman berubah,
dan diam-diam jiwanya mulai bicara.
Ada riuh dalam dirinya yang tak terdengar,
bukan karena suara luar,
tapi gema dari dalam,
antara pangkat di dunia dan suara langit yang dipanggilnya "iman".
Ia tak marah,
tak pula membakar jembatan dengan api.
Tapi ia memilih arah yang lain,
berbekal tafsir atas gelisah yang tak pernah selesai.
Dalam diamnya, ia berkata:
"Aku butuh satu suara, satu sumber cahaya."
Meski selama ini, cahaya itu tak pernah padam,
hanya saja… tidak lagi datang dari arah yang ia damba.
Lalu ia pergi,
bukan demi ketenangan, tapi demi keseimbangan.
Antara kehormatan yang terasa memudar
dan keyakinan yang harus diselamatkan, meski lewat jalan berbelok arah.
Namun,
Langkahnya tertatih mendamba asa.
Antara ragu dan percaya,
Apakah di ujung titian, akan ada pelangi cinta,
atau hanya sekedar fatamorgana dunia.