Tuhan tidak adil.
Kalau Dia adil, mengapa kita yang lemah ini, yang hidup di akhir zaman, zaman gaduh, zaman penuh tipu daya, zaman yang bahkan bayangan dosa sudah menempel di udara, diberi keistimewaan yang tak diberikan pada umat-umat sebelumnya?
Apa istimewanya kita dibanding Bani Israil yang hidup dalam bayang-bayang mukjizat Musa, yang melihat laut terbelah dan tiang-tiang cahaya? Apa istimewanya kita dibanding para pengikut Isa, yang menyaksikan burung hidup dari tanah liat?
Kita bukan siapa-siapa.
Bahkan kita hidup jauh dari para nabi. Mata kita tak pernah menatap sinar kenabian. Tangan kita tak pernah menyentuh jubah suci sang utusan. Tapi... mengapa justru kita, yang hanya mendengar sabda dari kitab dan cerita, dianggap sebagai saudara?
Kita, umat di penghujung akhir zaman.
Yang pikirannya penuh was-was. Yang hatinya compang-camping oleh dunia. Yang ibadahnya tak sebanding dengan para sahabat. Tapi Tuhan mengangkat derajat kita, jika kita bersyahadat dan mencintai Nabi dengan tulus, kita bisa meraih surga yang sama.
Bukankah ini... tidak adil?
Atau... mungkin memang bukan soal keadilan.
Mungkin ini adalah soal cinta.
Cinta-Nya yang dalam kepada manusia terakhir.
Kepada generasi yang paling jauh dari cahaya wahyu tapi paling dekat dengan ujian.
Cinta kepada hamba-hamba yang setiap hari harus memilih; antara layar dan sajadah, antara gengsi dan keikhlasan, antara logika dan iman.
Cinta kepada manusia yang tertatih dalam ibadahnya, tapi masih menengadahkan tangan di malam yang sunyi.
Betapa sering kita lalai. Tapi betapa sering pula Dia menunggu kita kembali.
Betapa sering kita lupa. Tapi betapa sering pula Dia membuka jalan untuk kami mengingat-Nya.
Betapa kita ini debu, tapi Dia menjadikan kita permata, hanya karena kita bagian dari umat kekasih-Nya.
Maka “Tuhan tidak adil” adalah ungkapan dari jiwa yang menangis bahagia.
Karena kalau Tuhan adil, bisa jadi kita sudah binasa.
Tapi karena Dia penuh cinta, kita diberi kesempatan.
Diberi malam istimewa yang nilainya lebih dari 1000 bulan.
Diberi pengampunan di setiap Ramadan.
Diberi pintu taubat yang tak pernah tertutup...
Selama nyawa belum sampai di tenggorokan.
Ini bukan ketidakadilan.
Ini adalah bentuk cinta yang melampaui logika.
Ini adalah nur kasih yang tidak masuk akal... tapi begitu nyata.
Sebaik-baik hamba, dia yang hidup karena cinta, dan kembali menuju cinta Sang Pencipta yang maha memberikan cinta.