Istilah wahyu dalam tradisi Islam seringkali dikaitkan secara eksklusif dengan para nabi dan rasul. Hal ini sangat wajar mengingat wahyu adalah sumber utama ajaran agama, dan nabi serta rasul adalah agen penyampainya kepada umat. Namun, Al-Qur’an sebagai kitab yang menyeluruh dan multidimensional mencatat bahwa wahyu dalam makna luas tidak selalu terbatas kepada figur kenabian. Dalam beberapa ayat, Al-Qur’an mengabadikan bentuk-bentuk wahyu yang ditujukan kepada selain nabi dan rasul, bahkan kepada makhluk non-manusia. Fenomena ini menantang pemahaman normatif kita tentang apa itu wahyu dan kepada siapa ia dapat ditujukan.
1. Makna Wahyu dalam Al-Qur’an
Secara etimologis, kata wahyu (وَحْيٌ) berasal dari akar kata w-ḥ-y (و-ح-ي), yang berarti isyarat cepat, komunikasi tersembunyi, atau bisikan yang halus. Dalam Al-Qur’an, kata ini digunakan dalam berbagai konteks; dari komunikasi ilahiah kepada nabi, hingga ilham kepada binatang dan manusia biasa.
Menurut Al-Raghib al-Asfahani dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, wahyu memiliki arti dasar sebagai “penyampaian informasi secara tersembunyi dan cepat, baik melalui isyarat, mimpi, ilham, atau bisikan”. Ini membuka ruang bagi pemahaman yang lebih luas atas istilah tersebut.
2. Dalil Wahyu kepada Selain Nabi dan Rasul
a. Wahyu kepada Ibu Nabi Musa
“Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa: 'Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nile). Dan janganlah kamu takut dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.’”
(QS. Al-Qashash: 7)
Dalam ayat ini, Allah secara eksplisit menggunakan kata “awḥaynā” (وَأَوْحَيْنَا) yang merupakan bentuk lampau dari “wahyu”. Ibu Musa bukanlah nabi, tetapi ia menerima komunikasi langsung dari Allah dalam bentuk ilham ilahi yang membawa petunjuk strategis dan janji ketuhanan. Tafsir Al-Jalalayn dan Al-Qurtubi menegaskan bahwa wahyu ini bukan kenabian, tetapi ilham rabbani.
b. Wahyu kepada Para Pengikut Nabi Isa
"Dan tatkala Aku ilhamkan (awḥaytu) kepada para pengikut Isa: ‘Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku,’ mereka menjawab: ‘Kami telah beriman, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslim).’”
(QS. Al-Ma'idah: 111)
Dalam ayat ini, wahyu ditujukan kepada al-ḥawāriyyīn (pengikut Nabi Isa), yang juga bukan nabi. Al-Qur’an menegaskan bentuk komunikasi transendental yang mendorong keimanan kolektif mereka. Lagi-lagi, ini menunjukkan bahwa wahyu tidak terbatas pada kenabian semata, tetapi dapat hadir sebagai bentuk petunjuk ilahi langsung.
c. Wahyu kepada Lebah
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia.”
(QS. An-Nahl: 68)
Ayat ini menarik karena kata wahyu digunakan kepada makhluk non-manusia. Dalam Tafsir Ibn Katsir, dijelaskan bahwa ini bukan wahyu dalam bentuk verbal, melainkan bentuk ilham instinktif yang diberikan Allah kepada lebah untuk mengatur kehidupannya. Ini memperkuat pengertian bahwa wahyu dapat berbentuk petunjuk kodrati yang tak bersifat verbal, namun tetap bersumber dari Allah.
3. Implikasi Teologis dan Epistemologis
Konsep wahyu kepada selain nabi memperluas horizon epistemologi Islam. Ia menunjukkan bahwa Allah tidak hanya menyampaikan kebenaran melalui wahyu normatif (yang dibukukan), tetapi juga melalui wahyu ilhami yang sifatnya personal, kodrati, atau bahkan sosial.
Dalam konteks ini, Syekh Ibn ‘Ashur dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir menyatakan bahwa penggunaan kata wahyu dalam berbagai konteks membuktikan keluwesan sistem komunikasi ilahi, yang kadang berbentuk inspirasi hati, intuisi batin, atau petunjuk spiritual yang tidak menafikan otoritas wahyu normatif.
Di sisi lain, pembeda antara wahyu kenabian dan wahyu non-kenabian tetap harus dijaga. Wahyu kenabian bersifat syariat, universal, dan terjaga dari kesalahan (ma‘shum). Sementara wahyu kepada selain nabi bersifat situasional, individual, dan tidak mengikat secara umum.
4. Kesimpulan
Dalil-dalil Al-Qur’an menunjukkan bahwa wahyu, dalam pengertian luasnya, tidak terbatas pada para nabi dan rasul. Allah mewahyukan kepada ibu Nabi Musa, kepada lebah, dan kepada para pengikut Isa. Ini menunjukkan betapa dekatnya Tuhan kepada ciptaan-Nya, dan bagaimana petunjuk-Nya bisa hadir dalam bentuk yang melampaui institusi kenabian.
Pemahaman ini bukan untuk menurunkan otoritas wahyu normatif, tetapi untuk memperkaya kesadaran spiritual bahwa komunikasi ilahi tetap berlangsung dalam banyak bentuk. Tentu dengan syarat bahwa semua ilham atau wahyu batiniah itu harus ditimbang dan diuji kebenarannya berdasarkan syariat yang telah sempurna.