Mimpi merupakan fenomena universal yang dialami oleh setiap individu, dan dalam ajaran Islam, mimpi memiliki kedudukan yang istimewa, sering kali dipandang sebagai salah satu bentuk komunikasi antara manusia dan Tuhan. Al-Qur'an dan hadits tidak hanya menjelaskan tentang sumber mimpi tetapi juga bagaimana menyikapinya secara benar. Beberapa mimpi bahkan menjadi bagian dari peristiwa besar dalam sejarah Islam, baik yang dialami oleh para nabi maupun tokoh penting lainnya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ membagi mimpi menjadi tiga kategori utama: pertama, mimpi baik yang merupakan kabar gembira dari Allah; kedua, mimpi buruk yang berasal dari setan; dan ketiga, mimpi yang muncul dari bisikan hati atau pikiran seseorang sendiri (HR. Bukhari, no. 6985). Mimpi baik dianggap sebagai bagian dari kenabian, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, "Mimpi seorang mukmin adalah satu dari empat puluh enam bagian kenabian" (HR. Bukhari, no. 6987; Muslim, no. 2263). Sebaliknya, mimpi buruk atau menakutkan berasal dari setan dan Rasulullah ﷺ mengajarkan agar tidak menceritakan mimpi tersebut kepada orang lain serta disarankan untuk melaksanakan shalat (HR. Bukhari, no. 3292; Muslim, no. 2261).
Al-Qur'an mencatat beberapa mimpi penting yang menjadi penanda peristiwa besar dalam sejarah Islam. Salah satunya adalah mimpi Rasulullah ﷺ yang menjadi sebab turunnya QS. Al-Fath ayat 27. Dalam mimpi tersebut, beliau melihat dirinya bersama para sahabat memasuki Masjidil Haram dengan aman, mencukur atau memendekkan rambut mereka sebagai bagian dari ibadah haji. Namun, realisasi dari mimpi ini baru terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah dan Fathu Makkah. Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan benar: Sungguh, kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, jika Allah menghendaki, dengan aman..." (QS. Al-Fath: 27). Ini menunjukkan bahwa mimpi Rasulullah ﷺ adalah wahyu dan memiliki makna profetik.
Selain itu, dalam QS. Yusuf ayat 4, disebutkan mimpi Nabi Yusuf yang melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan sujud kepadanya. Mimpi ini kemudian ditakwilkan oleh ayahnya, Nabi Ya’qub, sebagai pertanda bahwa ia akan mendapatkan kedudukan tinggi.
Mimpi juga menjadi bagian dari kisah seorang raja Mesir pada masa Nabi Yusuf. Dalam QS. Yusuf ayat 43, raja bermimpi melihat tujuh ekor sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus serta tujuh bulir gandum hijau dan tujuh lainnya kering. Nabi Yusuf menakwilkan mimpi tersebut sebagai pertanda bahwa akan terjadi tujuh tahun masa panen subur yang diikuti oleh tujuh tahun masa paceklik. Tafsir mimpi ini membawa kebijakan ekonomi yang menyelamatkan rakyat Mesir dari kelaparan.
Mimpi penting lainnya adalah yang dialami oleh Nabi Ibrahim ketika diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya, Ismail. Kisah ini terdapat dalam QS. Ash-Shaffat ayat 102-107, di mana Ibrahim berkata kepada putranya, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!" (QS. Ash-Shaffat: 102). Nabi Ismail dengan penuh ketakwaan menerima perintah ini, tetapi Allah menggantinya dengan seekor domba sebagai bentuk kasih sayang dan ujian keimanan.
Dalam perspektif psikologi Islam, mimpi dipandang sebagai salah satu cara komunikasi antara manusia dan Tuhan, serta refleksi dari kondisi spiritual dan psikologis individu. Penelitian menunjukkan bahwa mimpi dapat berfungsi sebagai pemberi kabar gembira, peringatan, atau petunjuk bagi individu dalam menjalani kehidupannya. Sebagai contoh, Yuminah (2018) dalam penelitiannya menyatakan bahwa mimpi dalam psikologi Islam diyakini tidak hanya berasal dari aspek pikiran atau psikis, tetapi juga berhubungan dengan ilham atau wahyu yang berfungsi sebagai kabar gembira, ujian keimanan, atau petunjuk bagi seseorang untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan.
Habibullah Nuruddin (2016) dalam tesisnya mengkaji mimpi dalam Al-Qur'an dengan pendekatan psikologi Islam, menekankan bahwa mimpi memiliki urgensi tersendiri dan dialami oleh semua manusia, sehingga perlu dipahami lebih dalam daripada sekadar dianggap sebagai bunga tidur semata. Sementara itu, Muhamad Arpah Nurhayat (2016) dalam artikelnya mengungkap bahwa mimpi dalam pandangan Islam memiliki fungsi dan cara penyikapan yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan hadits, sehingga penting bagi umat Muslim untuk memahami dan menyikapi mimpi dengan bijak.
Dengan demikian, memahami mimpi dalam Islam memerlukan pendekatan yang seimbang antara keyakinan terhadap wahyu dan pengetahuan psikologis. Mimpi bukan sekadar bunga tidur tetapi bisa menjadi sarana introspeksi dan peningkatan kualitas spiritual jika ditafsirkan dan disikapi dengan bijak sesuai tuntunan Al-Qur'an dan hadits.