Muhammad bin Abdullah al-Qahtani, lahir sebagai manusia biasa, menapaki jalan hidup sebagai pelajar agama, seorang penghafal Al-Qur’an, pecinta hadis, dan pribadi yang menjauh dari sorotan. Ia dikenal zuhud, lembut, dan penuh kesungguhan dalam belajar. Tidak pernah terbersit dalam dirinya untuk memimpin, apalagi mengubah dunia. Tetapi sejarah kadang menciptakan panggung yang tak dipilih oleh tokoh utamanya. Pada suatu musim haji tahun 1979, Muhammad bin Abdullah al-Qahtani menemukan dirinya berdiri di tengah Masjidil Haram, di hadapan ribuan manusia, dibaiat sebagai Imam Mahdi, sosok yang dirindukan oleh banyak jiwa, namun disematkan secara paksa pada bahunya.
Ia tidak mencarinya. Bahkan banyak riwayat menyebutkan ia menolak, berkali-kali. Tetapi keyakinan kolektif bisa menciptakan realitas. Juhayman al-Otaybi, kakak iparnya sendiri, memimpikan perubahan besar di tengah dunia Islam yang ia anggap telah keluar dari jalurnya. Ia butuh simbol. Butuh seseorang yang namanya cocok, karakternya khusyuk, asal-usulnya kultural, dan tampaknya jauh dari ambisi dunia. Maka Muhammad bin Abdullah al-Qahtani dijadikan wadah dari semua tafsir akhir zaman yang dipelintir, didoktrinkan, dan dimanipulasi dalam lingkaran tertutup penuh semangat apokaliptik. Mungkin Muhammad bin Abdullah al-Qahtani tidak lagi mampu membedakan mana ilham dan mana ilusi. Atau mungkin ia telah terlalu letih melawan tekanan spiritual yang terus dipompakan padanya sebagai "panggilan ilahi".
Hari itu, di sisi Ka'bah yang suci, tempat manusia dari seluruh penjuru bumi mengangkat tangan memohon rahmat, justru berlangsung penodaan paling getir, baiat paksa terhadap seseorang yang mungkin hanya ingin tenang dalam ibadah. Muhammad bin Abdullah al-Qahtani menerima tangan-tangan yang menyatakan sumpah setia, bukan karena ia haus kekuasaan, tetapi karena keyakinan bahwa mungkin... mungkin saja, ini bagian dari takdir yang tak bisa dielakkan. Namun tak lama setelahnya, desing peluru menjadi jawaban. Darah tumpah di pelataran haram. Mayat berserakan. Masjid berubah jadi medan perang.
Muhammad bin Abdullah al-Qahtani tidak keluar dari Masjidil Haram dalam keadaan hidup. Ia mati sebagai tokoh pusat revolusi, tanpa pernah mengeluarkan sepatah pun deklarasi pribadi sebagai Mahdi. Ia tidak dikenal karena pidatonya, tidak pula karena strategi militernya. Ia hanya meninggalkan jejak, sebagai seseorang yang dalam sunyi, mungkin menangis dalam hati. Dihidupkan oleh kekeliruan orang lain, dan diwafatkan dalam tragedi sejarah yang kelam.
Namanya kini tertulis dalam lembaran sejarah, bukan sebagai nabi, bukan sebagai wali, bahkan bukan sebagai pendusta. Ia adalah cermin dari betapa bahayanya keyakinan tanpa ilmu, ambisi religius tanpa kebijaksanaan, dan bagaimana seseorang bisa terjebak dalam peran yang tak pernah ia kehendaki, hanya karena ia terlalu alim, terlalu murni, hingga orang-orang melihatnya sebagai sesuatu yang bukan dirinya.
Maka jangan buru-buru percaya bahwa setiap sosok suci memang ingin dipuja. Kadang, mereka hanya ingin sendiri, bersujud dalam damai, jauh dari hiruk-pikuk dunia... sebelum dunia memaksa mereka menjadi legenda yang tidak pernah mereka pinta.
Sejarah tak pernah absen memberi pelajaran. Dalam gegap gempita nubuwwah yang dilafalkan dengan harap dan gairah, kita belajar bahwa kesesuaian tekstual; nama, nasab, atau tempat munculnya seseorang, tak lantas menjadikannya sebagai sang yang dijanjikan. Juhaiman al-Utaibi menemukan sosok Muhammad bin Abdullah al-Qahtani yang sesuai dengan ciri-ciri dalam teks-teks klasik. Ia membacakan nash, mengkalkulasi tanda-tanda, lalu mengajak dunia untuk percaya bahwa inilah dia, sang Mahdi. Tapi sejarah kemudian menunjukkan, bahwa kepercayaan yang dibangun di atas euforia tanpa bimbingan hikmah, bisa berubah menjadi tragedi.
Karena kebenaran bukan hanya perkara cocok atau tidak dengan teks, tetapi juga tentang kedalaman jiwa, keberkahan jalan, dan kesaksian zaman yang tak bisa dibohongi. Maka, semoga dari pelataran Ka’bah yang pernah ternoda darah, kita belajar untuk berhati-hati: bahwa tidak setiap tanda berarti kepastian, dan tidak setiap keyakinan berarti kebenaran.