Di salah satu sudut tandus kota Makkah, tinggal sebuah keluarga yang tak dianggap dunia: Yasir, Sumayyah, dan putra mereka. Mereka bukan bangsawan Quraisy, bukan pemuka kabilah, bukan pula hartawan. Mereka hanyalah keluarga kecil dari kalangan mustadh’afin—tertindas, terlupakan, tapi tidak oleh Allah.
Ketika risalah itu datang, mereka menerimanya tanpa ragu. Tanpa perhitungan untung rugi. Dan justru karena itulah mereka harus membayar mahal. Di tengah panas membakar, di hadapan mata manusia yang membatu, keluarga Yasir diseret, dicambuk, disiksa, dipaksa untuk meninggalkan kalimat tauhid. Mereka tidak dibunuh dalam senyap. Mereka dibunuh di bawah sorotan mentari, agar jadi tontonan, agar jadi peringatan: “Begini jadinya jika kalian mengikuti Muhammad!”
Tapi lihatlah bagaimana Rasulullah ﷺ menyikapi peristiwa ini. Tidak ada satu tangan pun beliau angkat untuk membalas, karena perintah jihad fisik belum turun. Namun, mulut suci itu tak henti menguatkan:
"Shabran ya aal Yasir, fa innama wa'idakumul jannah."
"Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sungguh yang dijanjikan untuk kalian adalah surga."
Lalu Sumayyah pun gugur, menjadi wanita pertama yang syahid dalam Islam—bukan karena pedang, tapi karena keteguhan.
Coba sejenak bayangkan…
Bagaimana jika kita berada di sana? Di sisi Sumayyah yang terkulai, di hadapan Ammar yang lunglai, di dekat Yasir yang sekarat—apa yang mungkin kita lakukan? Mampukah lisan kita tetap teguh? Atau kita malah bersembunyi, menjauh, mencari aman? Mampukah kita berdiri di antara batu dan cambuk sambil berkata, "La ilaha illallah"?
Di tengah situasi seperti itu, bukan mustahil muncul pertanyaan diam-diam di benak sebagian orang: mengapa Rasulullah ﷺ membiarkan mereka? Tidakkah beliau bisa membalas atau melindungi mereka? Tapi kenyataan sejarah membuktikan, bahwa pada masa itu, umat Islam masih lemah. Mereka minoritas, tanpa perlindungan, tanpa kekuasaan. Dan Rasulullah bukan tidak peduli—beliau sangat peduli, bahkan hatinya hancur menyaksikan itu semua. Tapi ia juga tahu, bahwa perjuangan besar tak selalu dimenangkan dengan pedang yang cepat terhunus. Kadang, kemenangan dimulai dari luka yang dibiarkan mengering dalam sabar.
Kini kita hidup di era berbeda. Tak ada cambuk yang mengoyak punggung karena tauhid, tak ada tombak yang menanti karena syahadat. Tapi "penyiksaan" hari ini tak selalu berupa senjata. Ia bisa datang dari ejekan halus, tekanan sosial, kehilangan pekerjaan, tudingan ekstrem, tuduhan intoleran—semua karena memilih bertahan dalam iman yang lurus.
Dan yang lebih mengkhawatirkan, banyak dari kita justru "menyiksa" diri sendiri—dengan mencampuradukkan kebenaran, menyesuaikan Islam pada selera zaman, melembutkan akidah agar tampak ramah di mata dunia. Kita lebih takut dicap keras, daripada takut kepada Yang Maha Perkasa.
Kita hidup dalam zaman ketika mempertahankan prinsip kadang dianggap radikal, ketika menolak menyimpang justru dianggap keras kepala. Tapi jika Sumayyah bisa tersenyum dalam kesakitan, mengapa kita tak bisa tersenyum dalam keteguhan?
Karena pada akhirnya, sejarah keluarga Yasir bukan sekadar kisah nestapa. Ia adalah cermin. Dan setiap zaman, akan ada bentuknya sendiri—akan ada cobaan untuk melihat:
Apakah kita generasi yang menatap langit sambil berdoa bersama "Ammar", atau justru generasi yang bertepuk tangan saat para "Sumayyah" dijatuhkan karena keyakinannya?
Dan bagi mereka yang bertahan, suara Rasulullah ﷺ tetap bergema, tak pernah pudar:
"Bersabarlah... surga menantimu."