Ini bukan sekadar jalan; ia adalah rute batin yang dipilih oleh jiwa yang haus akan realitas kebenaran. Ia bukan sekadar kumpulan wirid, bukan pula hanya rantai silsilah. Ia adalah upaya menanggalkan diri, perlahan, lapis demi lapis, sampai yang tersisa hanyalah kehambaan yang murni, yang jujur, yang tunduk sepenuhnya pada Kehendak-Nya.
Ini bukan jalan yang menjanjikan cahaya di gerbang masuknya, tetapi jalan yang membawa masuk ke dalam kegelapan diri untuk menemukan cahaya sejati. Di sana, ego dipatahkan. Nama dibungkam. Hasrat untuk dikenali diluruhkan. Sebab siapa yang masih ingin dikenal, belum siap untuk fana. Dan siapa yang masih takut tenggelam, belum layak untuk "menyaksikan".
Ia dimulai bukan dari ilmu yang banyak, tapi dari adab yang dalam. Dari duduk diam di hadapan guru, bukan untuk berdebat, tetapi untuk mendengarkan apa yang tak bisa diajarkan oleh buku. Sebab apa yang mengalir dari lisan yang jujur itu bukan hanya kata, tapi warisan nurani yang bersambung hingga utusan-Nya.
Dan ketika langkahnya teguh, jiwanya mulai disucikan. Bukan karena merasa suci, tapi karena merasa kotor. Rasa hina yang lembut itu, justru yang mengangkatnya di hadapan langit. Ia menangis bukan karena gagal, tetapi malu, karena selama ini telah mencintai-Nya dengan setengah hati.
Jalan ini bukan milik orang yang sibuk berbicara tentang tasawuf, tetapi milik mereka yang diam-diam menahan amarah, memaafkan dengan hati remuk, dan menyembunyikan zikir di balik senyum lelah.
Maka, siapa yang menempuhnya, bersiaplah untuk kehilangan segalanya; nama, pujian, bahkan tempat di hati manusia. Sebab yang dicari bukan dunia, bukan ilusi kemuliaan, tetapi Wajah yang tak pernah berpaling dari mereka yang jujur dalam mencintai-Nya.
Dan pada akhirnya, bukan sorban, bukan gelar, bukan jumlah murid yang menjadi tanda. Tetapi kehinaan diri yang tersembunyi, air mata yang jatuh saat hanya ada Dia, dan rindu yang tak pernah padam meski dunia membeku.
"Karena pada akhirnya, yang paling dekat dengan-Nya bukanlah yang paling dikenal manusia, tetapi yang paling berhasil menghilang dari dirinya sendiri, hingga yang tersisa hanyalah kehambaan murni… yang rindu, yang hancur, yang kembali pulang tanpa nama, kecuali sebagai kekasih yang dirindukan oleh Tuhannya."