Ada masa di mana seorang pahlawan harus meletakkan pedangnya, bukan karena kalah, tetapi karena kemenangan yang lebih besar sedang disiapkan untuknya, medan yang tak lagi bernama pertempuran, melainkan pengorbanan.
Itulah yang terjadi ketika Khalid bin Walid, Sang Pedang Allah, menerima kabar yang berat itu; Khalifah Umar bin Khattab, mencopotnya dari jabatan panglima tertinggi.
Khalid, sosok yang tak terkalahkan di medan perang, bisa saja marah.
Bisa saja memberontak.
Bisa saja membakar nama besarnya untuk menolak.
Tetapi tidak.
Dengan hati seluas samudra, ia menundukkan kepala, menghela napas dan berkata; "Aku berperang bukan karena Umar. Aku berperang karena Allah."
Dalam sunyi hatinya, mungkin ada luka.
Siapa yang tak akan terluka ketika namanya, yang dulu dielu-elukan, kini ditarik turun dari singgasananya?
Namun Khalid memilih untuk membungkus lukanya dengan kesetiaan. Ia tetap berjuang, tetap berperang, tetap mencintai, walau tanpa titel, tanpa sanjungan.
Ia paham; menjadi pejuang sejati adalah tetap berjuang, bahkan ketika dunia seolah menghilang.
Hari ini, di zaman kita...
Betapa banyak yang berlomba mencari kursi, jabatan, dan pengakuan. Betapa banyak yang merasa hilang jati dirinya ketika kehilangan tahta.
Padahal, jika saja mereka mau belajar dari Khalid, mereka akan tahu; harga diri tidak tergantung pada posisi, kemuliaan tidak bersandar pada jabatan.
Seseorang tetaplah mulia, selama ia menautkan dirinya kepada Dia Yang Esa, bukan kepada apa yang disematkan dunia kepadanya.
Dan suatu hari, sejarah akan berbicara;
Siapa yang berjuang karena dunia...
dan siapa yang berjuang karena Allah semata.