---
Di era digital ini, jari-jari kita adalah senjata. Satu ketikan bisa menjadi pelita kebenaran, tetapi juga bisa menjelma bara yang membakar diri sendiri. Berdebat di media sosial bukan lagi sekadar adu argumen, ia adalah medan yang penuh ranjau, di mana emosi yang tak terjaga bisa berubah menjadi jerat hukum yang membelenggu.
Karena itu, cerdaslah dalam menyampaikan pendapat. Bukan berarti kita harus diam ketika kebenaran dilukai, tapi belajarlah memilih kata. Hati-hati dengan label, jangan buru-buru menyebut seseorang "penipu", "sesat", atau "koruptor" tanpa bukti yang sahih dan otoritatif. Kita punya hak untuk menyuarakan pikiran, namun hukum punya caranya sendiri untuk menafsirkan apa itu ujaran kebencian, fitnah, atau pencemaran nama baik. Satu kalimat yang dilandasi ego bisa menjadi pasal yang tak terbantahkan.
Gunakan argumen, bukan cacian. Gunakan data, bukan drama. Jika ingin mengkritik, fokuslah pada ide, bukan menyerang pribadi. Sertakan referensi, bukan asumsi. Bila perlu, akhiri debat dengan kalimat bijak seperti, "Saya menghargai pendapat Anda, dan saya memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan ini demi menjaga ruang publik kita tetap sehat." Itu bukan tanda kelemahan, tapi bukti bahwa kita lebih peduli pada kebaikan bersama dibanding memenangkan pertempuran kecil yang sia-sia.
Dan yang terpenting, sebelum menulis, tanya dulu pada hati: Apakah ini akan membawa manfaat, atau sekadar memuaskan dendam sesaat? Jika hati berkata “tidak”, maka diam adalah kemenangan yang agung.
Karena di dunia maya, jejakmu tak pernah benar-benar hilang. Tapi kearifanmu akan selalu dikenang.