---
Dalam ruang gelap ketidakpastian, ada saat ketika hati bertanya, apakah hanya para nabi dan rasul yang layak disebut sebagai utusan? Namun sejarah, dengan kesaksian agungnya, berbisik pelan: tidak selalu demikian.
Di tengah pergolakan Bani Israil, saat gelombang keputusasaan menggulung setiap harapan, ada satu nama yang menggema: Thalut. Tidak dikenal sebagai nabi, tidak pula seorang rasul. Ia hanya seorang lelaki dari kalangan biasa, tanpa keturunan bangsawan, tanpa harta melimpah, tanpa takhta yang diwariskan. Tapi saat perang menggantung di cakrawala dan kehancuran menjadi ancaman nyata, suara wahyu turun kepada nabi mereka, "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." (QS. Al-Baqarah: 247)
Bukan rakyat yang memilihnya. Bukan pula pemuka kaum yang menetapkannya. Dia adalah pilihan Tuhan. Bagi Bani Israil yang terjebak dalam prasangka, pilihan ini terasa ganjil. Mereka mempertanyakan, "Mengapa dia? Sedangkan kami lebih layak dalam keturunan dan kekayaan?" Tetapi Allah, dengan kebijaksanaan yang tak terbatas, memilih bukan karena nama besar atau harta melimpah, tetapi karena ilmu dan kekuatan yang ditanamkan dalam dirinya. Thalut adalah utusan. Bukan untuk menyampaikan wahyu, tetapi untuk memimpin, untuk melindungi, untuk menegakkan keadilan di masa kelam.
Waktu terus berjalan, dan perjalanan umat manusia tidak pernah bebas dari masa-masa gelap. Ketika kekacauan menyelimuti, dan kebenaran terasa asing, pintu rahmat tidak pernah tertutup. Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun seseorang yang memperbaharui agamanya."
Seorang mujaddid; bukan nabi, bukan rasul, tetapi seorang yang diutus untuk memperbaiki, menghidupkan kembali ajaran yang mulai pudar, membersihkan akidah dari noda-noda kebatilan. Tidak membawa wahyu, tetapi membawa hikmah. Tidak menyampaikan kitab suci, tetapi menyegarkan kembali pemahaman terhadap kitab suci. Mereka datang bukan dengan mukjizat, tetapi dengan kecerdasan, keteguhan, dan ketulusan yang menggetarkan hati.
Dalam kisah Thalut dan sabda tentang mujaddid, ada pelajaran yang begitu agung. Bahwa seorang utusan tidak selalu harus memiliki gelar kenabian. Bahwa seorang yang dipilih Tuhan untuk menuntun, membimbing, atau meluruskan, tidak selalu harus datang dengan mukjizat yang spektakuler. Terkadang, seorang utusan hadir dalam sosok yang sederhana, dengan peran yang tak kasat mata, tetapi dengan dampak yang mengguncang zaman.
Dan di sinilah, di tengah kesibukan dunia yang penuh kebingungan, kita dihadapkan pada pilihan. Akankah kita tetap terjebak dalam persepsi sempit bahwa utusan hanya untuk para nabi dan rasul? Atau akankah kita membuka mata dan hati, melihat bahwa dalam setiap masa, dalam setiap generasi, selalu ada mereka yang diutus untuk menjadi cahaya di tengah kegelapan?
Karena pada akhirnya, utusan adalah tentang amanah. Tentang keberanian memikul beban kebenaran di tengah gelombang kebatilan. Dan mereka yang diutus, entah sebagai raja yang adil seperti Thalut atau sebagai mujaddid yang penuh hikmah, adalah tanda bahwa rahmat Allah tidak pernah meninggalkan kita, hamba-Nya.