Beberapa hari yang lalu, saya membaca tulisan yang mengkritisi sedekah jum'at (makanan yang diberikan pasca jum'atan). Tulisan itu bukan mengkritisi eksistensi sedekahnya, tetapi lebih kepada akibat yang ditimbulkan, dimana sebagian jamaah, lebih memilih putar badan setelah salam hanya untuk mengejar hidangan karena takut kehabisan.
Membaca tulisan itu, pikiran saya menerawang jauh ke masa 30an tahun lalu. Di kampung saya, sedekah jum'atan bukanlah hal aneh, malah sudah menjadi budaya, dan di atur sedemikian rupa tanpa menghilangkan sunnah pasca shalat. Setiap jum'atan jika ada yang mau bershadaqah makanan, jamaah menghubungi pengurus masjid untuk mengumumkan sebelum adzan dikumandangkan, bahwa setelah jum'atan diminta hadir ke rumah fulan bin fulan dalam rangka ... (sesuai hajat jama'ah). Biasanya, dalam 1 jum'at ada 2 bahkan lebih jamaah hajatan, dan waktunya pun di sepakati bersama. Bisa yg satunya pas malam jum'atnya (ba'da isya, atau bisa juga magrib dan isya berjama'ah di rumah yang punya hajat), kemudian yang satunya habis jum'atan. Kalau lebih, bisa di pagi jum'at atau ba'da ashar. Kalau terpaksa bentrok waktunya, maka jama'ah akan berbagi jumlah untuk berkunjung ke rumah yang punya hajat. Di sela-sela kegiatan pembacaan zikir dan doa, di selingi oleh kajian singkat semacam kultum oleh tokoh agama atau imam masjid setempat. Silaturahmi terjaga, syiar agama terfasiltasi, dan tentunya perut pun kenyang.
Walaupun begitu, bagi jamaah yang tidak mampu mengundang banyak orang, tetap di fasilitasi. Misalnya ada yang membawa hasil kebunnya ke masjid untuk dibagikan. Tetapi diamankan dulu oleh pengurus dan baru dibagikan setelah prosesi shalat dan zikir selesai. Ini pun tak masalah, karena jumlahnya sedikit dan tidak mencukupi untuk dibagikan kepada semua jama'ah.
Akhir-akhir ini, setiap kali saya pulang kampung, sudah jarang saya temukan budaya seperti itu. Kalaupun ada yang melaksanakan, biasanya yang punya hajat adalah tokoh-tokoh sepuh. Sementara yang seusia dengan saya, sehabis shalat langsung pulang. Kalaupun berzikir, mereka lebih senang diam, memilih tidak mau bersalaman dan tidak mau bercengkrama dengan saudara-saudaranya di teras masjid. Bahkan tak jarang memandang nyinyir jamaah lain yang mengambil sajian sedekah jum'at.
Entah mengapa bisa begitu, bisa jadi karena standarnya terlalu sempit. Mungkin pula, karena jari dan lisan begitu mudah menjustifikasi tanpa mau mempelajari alasan-alasan di baliknya, sehingga mudah menuduh bid'ah dan sesat terhadap suatu budaya, yang justru awalnya dibangun berlandaskan ajaran agama...







