Ada momen dalam kehidupan yang menuntut sebuah jawaban. Tidak hanya dari lisan, tetapi juga dari hati yang paling dalam. Saat kebenaran tersampaikan, saat perintah Ilahi datang mengetuk, bagaimana kita merespons? Ada yang berkata, "Sami’na wa atha’na" (kami mendengar dan kami taat). Namun, ada pula yang berkata, "Sami’na wa ‘ashaina" (kami mendengar, lalu kami berpaling). Dua ungkapan yang tampak sederhana, namun di baliknya terukir takdir yang berbeda.
Ketika para sahabat mendengar wahyu turun, hati mereka gemetar, namun bibir mereka tidak meragu. Perintah shalat lima waktu, kewajiban jihad, larangan riba, aturan hijab, semua mereka terima dengan satu kalimat, "Kami mendengar dan kami taat."
Bukankah hati mereka juga bertanya-tanya? Bukankah logika manusiawi bisa saja mencari celah? Namun, mereka memilih keyakinan di atas keraguan, memilih taat di atas syak wasangka. Karena mereka tahu, wahyu bukan sekadar aturan, tetapi petunjuk dari Dia yang Maha Tahu.
Namun, tidak semua yang mendengar memilih untuk tunduk. Ada yang telinga mereka menangkap suara kebenaran, tetapi hati mereka menolaknya. Ada yang memahami maknanya, tetapi memilih pergi seakan-akan mereka tidak pernah tahu.
Bani Israil, kaum yang menyaksikan mukjizat demi mukjizat, adalah contoh dari mereka yang sering berkata, "Kami mendengar, tetapi kami berpaling." Mereka melihat laut terbelah, mereka memakan hidangan dari langit, mereka menyaksikan tongkat berubah menjadi ular, tetapi ketika perintah datang, mereka menolak dengan dalih-dalih duniawi. "Mereka berkata, ‘Wahai Musa, kami tidak akan memasuki (negeri itu) selama-lamanya, selama mereka ada di dalamnya. Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah! Sesungguhnya kami hanya akan duduk menanti di sini" (QS. Al-Ma’idah: 24). Mereka tidak menyangkal Tuhan, mereka tidak mengingkari wahyu, tetapi mereka tidak ingin terikat dengan ketaatan.
Bukankah di zaman ini kita juga melihat banyak yang berkata dengan hati, "Kami tahu ini benar, tetapi kami tidak siap. Kami mengerti ini perintah, tetapi kami masih ragu." Bukankah banyak yang mendengar ayat tentang kejujuran, tetapi tetap memilih kebohongan?
Kisah sejarah telah mencatat bagaimana dua jawaban ini melahirkan kehidupan yang berbeda. Mereka yang berkata "Sami’na wa atha’na" mungkin menghadapi kesulitan di dunia, tetapi mereka berjalan di atas cahaya. Sedangkan mereka yang berkata "Sami’na wa ‘ashaina" mungkin mendapatkan kenyamanan sesaat, tetapi pada akhirnya, kenyamanan itu adalah fatamorgana yang menyesatkan.
Setiap kali wahyu Allah menyentuh hati kita, setiap kali ajakan kebaikan hadir di hadapan kita, kita selalu berada di persimpangan yang sama: apakah kita akan memilih jalan orang-orang beriman, atau kita akan memilih jalan mereka yang berlalu dan berpaling?