Malam itu sunyi. Kota Madinah perlahan terlelap dalam damainya wahyu yang terus turun menerangi hati orang-orang beriman. Namun, di sebuah sudut, seorang lelaki duduk merenung, keringat dingin membasahi pelipisnya. Tangan yang dulu memegang pena untuk menulis firman Ilahi kini bergetar oleh sesuatu yang berbeda, ketakutan. Nama lelaki itu adalah Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh, seorang yang dahulu diberi kehormatan mencatat wahyu, tetapi kemudian tergelincir dalam keraguan yang membawanya pada pengkhianatan.
Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh bukan orang biasa. Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang dipilih Nabi Muhammad ﷺ untuk mencatat ayat-ayat suci yang turun dari langit. Kehormatan itu seharusnya menjadi kebanggaan, namun di dalam dirinya mulai tumbuh benih-benih bisikan yang berbahaya.
Saat wahyu turun, ia menyaksikan bagaimana Rasulullah ﷺ mengucapkan kata demi kata yang datang dari Allah. Ia menuliskannya dengan tangannya sendiri. Tapi suatu hari, setan membisikkan keraguan ke dalam hatinya. “Bukankah aku yang menuliskannya? Aku bisa menambah atau mengubah sedikit, dan Nabi pun menerimanya.”
Riwayat menyebutkan bahwa saat ia menulis ayat dari surah Al-Mu’minun (23:12-14), yang berbunyi:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, lalu segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami menjadikannya makhluk yang baru. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik."
Setelah Rasulullah ﷺ mengucapkan ayat itu, Abdullah bin Sa’ad berkata, "Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik." Kata-katanya itu persis seperti penutup ayat yang baru saja turun. Ia mulai berpikir bahwa kata-kata yang ia ucapkan sendiri bisa saja menjadi bagian dari wahyu.
Kesombongan mulai merayapi dirinya. Bisikan setan semakin kuat: “Jika aku bisa menyusun kata seperti itu, bagaimana aku bisa yakin bahwa Muhammad benar-benar mendapatkan ini dari Allah? Bukankah aku juga mampu?”
Dan di sinilah awal kejatuhannya. Ia meninggalkan Islam dan melarikan diri ke Mekkah, bergabung dengan kaum Quraisy yang menentang Rasulullah ﷺ.
Di Mekkah, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh tidak hanya murtad. Ia menjadi salah satu orang yang paling gencar memerangi Islam. Ia menyebarkan propaganda bahwa wahyu yang turun hanyalah hasil karangan Rasulullah ﷺ, bahwa Muhammad hanya mengulang apa yang ia katakan. Ia menciptakan kebohongan demi kebohongan untuk merusak keyakinan kaum Muslimin.
Kebenciannya terhadap Islam begitu besar hingga ketika Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah), Rasulullah ﷺ memerintahkan agar Abdullah bin Sa’ad dibunuh, bahkan jika ia ditemukan sedang berlindung di dalam Ka'bah.
Dalam riwayat yang dikutip oleh Imam Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud (no. 2683), Rasulullah ﷺ bersabda:
"Bunuhlah mereka, meskipun kalian mendapati mereka berpegang pada tirai Ka'bah."
Di antara mereka yang diperintahkan untuk dibunuh adalah Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh.
Saat Mekkah takluk, Abdullah bin Sa’ad gemetar ketakutan. Ia tahu bahwa ajalnya hampir tiba. Ia yang dulu menulis wahyu, yang pernah berada di sisi manusia terbaik, kini menjadi buronan yang harus dihabisi.
Namun, ia masih memiliki satu harapan. Ia mencari perlindungan di rumah Utsman bin Affan, yang merupakan saudara sepersusuannya. Dengan gemetar, ia berkata, “Utsman, aku tahu aku telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Aku tahu aku layak mati. Tapi tolong, mintakan ampunan bagiku.”
Utsman, yang terkenal dengan kelembutannya, membawanya menghadap Rasulullah ﷺ. Ia memohon, “Ya Rasulullah, Abdullah telah datang memohon ampunan. Berilah ia kesempatan.”
Rasulullah ﷺ diam.
Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tidak ada tanda-tanda belas kasih, tetapi juga tidak ada kemarahan yang meledak. Abdullah semakin gemetar.
Utsman mengulang permohonannya. Rasulullah ﷺ tetap diam.
Tiga kali Utsman memohon, hingga akhirnya Rasulullah ﷺ menghela napas dan berkata, “Baiklah.”
Namun, setelah Abdullah pergi, Nabi ﷺ berkata kepada para sahabatnya, “Mengapa kalian tidak membunuhnya?”
Mereka terkejut, “Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami?”
Nabi ﷺ menjawab, “Tidak pantas bagi seorang Nabi untuk memberi isyarat dengan matanya.” (HR. Abu Dawud, no. 2683).
Sebuah isyarat bahwa Nabi sebenarnya mengharapkan sahabat-sahabatnya menghabisi Abdullah di tempat, tetapi beliau tetap menjaga kehormatan sebagai utusan Allah.
Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh memang selamat, tetapi hidupnya tidak pernah sama lagi. Ia diampuni, ia kembali kepada Islam, bahkan di kemudian hari ia menjadi gubernur Mesir di bawah kekhalifahan Utsman bin Affan. Namun, bayangan dosa masa lalunya selalu menghantuinya.
Riwayat menyebutkan bahwa ketika ajalnya mendekat, ia berdoa, “Ya Allah, jangan biarkan aku mati dalam keadaan sujud, karena aku tidak tahu apakah Engkau akan menerimaku.” (Ibnu Sa’ad, At-Thabaqat al-Kubra).
Ia akhirnya wafat dalam keadaan telah kembali kepada Islam, tetapi kisahnya tetap menjadi pengingat: Betapa dekatnya seseorang dengan kebenaran, dan betapa mudahnya ia tergelincir jika kesombongan mulai menguasai hati.
Pelajaran dari Kisah Ini;
Ilmu tanpa ketundukan bisa menjadi malapetaka; Abdullah bin Sa’ad memiliki kehormatan sebagai penulis wahyu, tetapi ilmunya tidak diiringi dengan ketundukan, sehingga setan mudah menyesatkannya.
Kesombongan adalah pintu kehancuran; Merasa lebih tahu dari Rasulullah ﷺ adalah awal kehancuran Abdullah. Kesombongan membuatnya jatuh ke dalam kebohongan yang menghancurkan dirinya.
Pintu taubat selalu terbuka, tetapi harga dari dosa besar adalah penyesalan seumur hidup; Abdullah memang diampuni, tetapi hidupnya penuh bayangan masa lalu. Tidak semua yang diampuni bisa menghapus rasa bersalah dari hati.
Semoga kita selalu rendah hati dalam menerima kebenaran dan tidak tergelincir dalam kesombongan
---