KETEGUHAN IMAN DI BAWAH BAYANG-BAYANG KEMATIAN

Angin gurun bertiup pelan, membawa debu-debu yang menari di bawah langit yang membara. Seorang lelaki berdiri tegap di tengah tanah tandus, tubuhnya terikat pada sebatang kayu, wajahnya tetap teduh meskipun maut sudah mengintai begitu dekat. Matanya menatap lurus ke depan, penuh keyakinan, penuh keteguhan. Tidak ada ketakutan di sana. Tidak ada penyesalan. Yang ada hanya iman yang tak tergoyahkan.
Nama lelaki itu adalah Khubaib bin ‘Ady. Seorang sahabat Rasulullah, seorang pejuang Islam yang akan menjadi simbol keberanian dan keteguhan hati hingga akhir zaman. Hari ini, ia tidak sedang berada di medan perang. Tidak ada pedang di tangannya. Tetapi, ia berdiri di hadapan puluhan orang Quraisy yang siap menghabisi nyawanya dan ia berdiri tanpa sedikit pun gentar.
---
Semua bermula ketika Rasulullah mengirimkan sekelompok sahabatnya ke daerah Najd untuk berdakwah. Khubaib adalah salah satu dari mereka. Namun, perjalanan yang seharusnya menjadi jalan menyebarkan cahaya Islam berubah menjadi jebakan yang menelan nyawa. Mereka dikhianati oleh Bani Lihyan, sebuah suku yang pura-pura menerima Islam tetapi diam-diam bersekongkol dengan Quraisy.
Khubaib tertangkap. Ia dibawa ke Mekah sebagai tawanan. Tetapi ia bukan sekadar tawanan perang, ia adalah hadiah bagi Quraisy. Mereka telah lama menanti saat ini. Mereka ingin membalas dendam atas kekalahan mereka di Perang Badar. Dan Khubaib, salah satu yang telah membunuh pemimpin mereka, kini berada di tangan mereka (Ibnu Sa’ad, At-Tabaqat al-Kubra).
Di Mekah, Khubaib diserahkan kepada keluarga al-Harith bin ‘Amir, seorang pemimpin Quraisy yang tewas di tangan Khubaib dalam Perang Badar. Kini, keluarganya menganggap ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam.
Tetapi ada sesuatu yang aneh tentang lelaki ini.
Para wanita yang melihatnya di penjara tidak menemukan seorang pria yang takut menghadapi kematian. Sebaliknya, mereka melihat seseorang yang tetap tenang, tetap tersenyum, dan tetap beribadah meskipun ia tahu ajalnya sudah dekat.
Suatu hari, salah satu wanita Quraisy mendapati Khubaib tengah berdiri dalam salatnya. Ia beribadah dengan begitu khusyuk, begitu damai, hingga perempuan itu berkata, "Demi Allah, aku tidak pernah melihat tawanan yang lebih baik dari Khubaib." (Al-Iṣābah fī Tamyīz aṣ-Ṣaḥābah, Ibnu Hajar al-Asqalani).
Hari yang dinantikan Quraisy pun tiba. Mereka mengeluarkan Khubaib dari penjara, mengaraknya ke Tan’im, tempat eksekusi yang telah mereka siapkan. Di sana, sebatang kayu telah ditegakkan. Itulah tempat di mana ia akan menemui kematiannya.
Ratusan orang Quraisy berkumpul. Di antara mereka ada Abu Sufyan, ada Safwan bin Umayyah, ada orang-orang yang dulu kalah di Badar dan kini ingin melampiaskan kebencian mereka.
Mereka mengikat tubuhnya ke tiang kayu. Dan sebelum pedang atau tombak menyentuhnya, mereka memberi satu tawaran terakhir:
"Wahai Khubaib, maukah kau menukar nyawamu dengan Muhammad? Jika saja kau mau mengutuknya, kami akan membebaskanmu."
Khubaib menatap mereka. Tatapannya tajam, penuh keyakinan. Lalu ia berkata dengan suara yang menggetarkan tanah Mekah:
"Demi Allah, aku tidak ingin selamat sementara Rasulullah terluka oleh duri sekalipun." (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah).
Mereka terdiam. Tidak ada ketakutan dalam kata-kata Khubaib. Tidak ada permohonan belas kasihan. Tidak ada air mata putus asa.
Bahkan, di detik-detik terakhir hidupnya, ia hanya memiliki satu permintaan: "Biarkan aku salat dua rakaat sebelum aku mati."
Mereka mengizinkannya. Dan Khubaib pun melakukan dua rakaat terakhir dalam hidupnya, dengan begitu tenang, begitu khusyuk, seolah-olah kematian yang menantinya hanyalah pintu menuju kehidupan yang lebih indah.
Setelah selesai, ia berkata, "Jika bukan karena kalian akan mengira aku takut mati, aku akan memperpanjang salatku." (Sahih al-Bukhari, Hadis No. 3045).
Tak lama kemudian, tombak pertama menembus tubuhnya. Lalu yang kedua. Lalu yang ketiga. Darah mengalir membasahi pasir Tan’im. Tetapi bibir Khubaib masih bergerak, mengucapkan kata-kata yang akan dikenang sepanjang zaman:
"Ya Allah, hitunglah jumlah mereka, hancurkan mereka, dan jangan sisakan satu pun dari mereka!" (Sahih al-Bukhari, Hadis No. 3045).
Dan di saat-saat terakhirnya, ia melantunkan bait yang begitu menyayat hati:
"Aku tidak peduli, selama aku mati sebagai seorang Muslim,
Di sisi Allah, tak masalah bagaimana tubuhku tercabik-cabik,
Semua itu hanya terjadi demi Dia, dan jika Dia menghendaki, Dia akan memberkahi tubuh yang telah koyak ini."
Kemudian segalanya menjadi sunyi.
Khubaib bin ‘Ady telah syahid.
Tetapi di antara orang-orang Quraisy, hati mereka bergetar. Mereka melihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, seorang lelaki yang begitu yakin akan keyakinannya, yang mati tanpa ketakutan, yang menghadap kematiannya dengan kepala tegak.
Abu Sufyan, pemimpin Quraisy yang menyaksikan semuanya, hanya bisa berkata, "Aku tidak pernah melihat seorang pun yang mencintai seseorang seperti para sahabat Muhammad mencintai Muhammad."
Hari itu, Khubaib bin ‘Ady telah meninggalkan dunia. Tetapi kisahnya tidak pernah mati.
Hingga hari ini, setiap kali seorang Muslim berdiri dalam sujudnya, setiap kali seseorang berkata "Sami’na wa atha’na", nama Khubaib akan selalu menjadi bagian dari mereka yang menunjukkan makna sejati dari ketaatan.
Ia bisa saja menyelamatkan dirinya, tetapi ia memilih untuk setia. Ia bisa saja menyerah, tetapi ia memilih untuk berjuang. Dan karena itu, meskipun tubuhnya hancur di dunia, namanya tetap hidup dalam sejarah sebagai simbol keberanian yang tak tergoyahkan.
Referensi:
Ibnu Hajar al-Asqalani, Al-Iṣābah fī Tamyīz aṣ-Ṣaḥābah
Ibnu Sa’ad, At-Tabaqat al-Kubra
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah
Sahih al-Bukhari, Hadis No. 3045 (tentang doa dan keteguhan Khubaib)
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Comments

Recent

About Me

Foto saya
Kita tidak akan mendapatkan hasil berbeda, jika tetap melakukan hal yang sama...

Bottom Ad [Post Page]

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Full width home advertisement