NASIKH DAN MANSUKH: Fleksibilitas atau Inkonsistensi?

Konsep Nasikh dan Mansukh telah menjadi subjek perdebatan signifikan dalam yurisprudensi Islam, terutama dalam memahami sifat evolusioner dari wahyu ilahi. Al-Qur'an sendiri mengakui prinsip abrogasi dalam ayat seperti Surah Al-Baqarah (2:106), di mana Allah menyebutkan penggantian perintah sebelumnya dengan ketentuan yang lebih baik atau serupa. Prinsip ini menjadi instrumen utama dalam menafsirkan hukum dan etika Islam, memastikan bahwa petunjuk ilahi tetap relevan dengan perubahan zaman.
Penerapan Nasikh dan Mansukh terlihat dalam Al-Qur'an dan Hadis, di mana beberapa ketentuan awal digantikan oleh yang lebih baru guna menyesuaikan dengan dinamika umat Islam. Sebagai contoh, larangan terhadap konsumsi alkohol dalam Al-Qur'an menunjukkan pendekatan bertahap dalam pengembangan hukum dan moral. Para ulama klasik seperti Imam Al-Syafi’i dan Ibnu Katsir secara luas membahas pentingnya abrogasi, berpendapat bahwa ini merupakan alat esensial dalam memahami perkembangan ketetapan hukum Islam. Sementara itu, ulama kontemporer seperti Yusuf Al-Qaradawi dan Muhammad Abu Zahra mengeksplorasi bagaimana Nasikh dan Mansukh tetap relevan dalam menyikapi dilema hukum dan etika modern.
Salah satu perdebatan utama mengenai Nasikh dan Mansukh adalah identifikasi ayat atau hukum mana yang telah di-nasakh dan sejauh mana penerapannya. Para yuris klasik telah memperdebatkan kasus seperti perubahan arah kiblat, evolusi ketentuan jihad, dan penghapusan beberapa sanksi hukum. Namun, beberapa ulama modern menantang penerapan abrogasi yang berlebihan, berpendapat bahwa banyak contoh yang dianggap sebagai Nasikh dan Mansukh lebih merupakan modifikasi kontekstual daripada pembatalan total. Mereka menekankan pentingnya memahami ketentuan ini dalam konteks historis dan sosialnya.
Aspek lain yang krusial adalah relevansi Nasikh dan Mansukh dalam sistem hukum modern. Sementara beberapa berpendapat bahwa abrogasi hanya berlaku pada periode awal hukum Islam, yang lain percaya bahwa prinsip ini tetap membentuk interpretasi hukum dalam konteks kontemporer. Perspektif ini menjadi penting dalam menangani isu-isu seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan hubungan antaragama, di mana fleksibilitas hukum Islam sering kali menjadi bahan perdebatan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Nasikh dan Mansukh merupakan mekanisme fundamental fleksibilitas dalam yurisprudensi Islam, memungkinkan sistem hukum merespons perubahan keadaan sambil tetap menjaga prinsip teologis yang mendasarinya. Prinsip abrogasi bukanlah indikasi kontradiksi, melainkan metodologi ilahi dalam pengembangan hukum. Para ulama kontemporer harus mendekati doktrin ini dengan kritis, memastikan bahwa interpretasi tetap selaras dengan tujuan etika dan moral syariah sambil menjawab tantangan modern.
REFERENSI
Al-Qaradawi, Y. (1996). Islamic Jurisprudence in the Modern Context. Cairo: Al-Falah Publications.
Abu Zahra, M. (2007). The Evolution of Islamic Legal Theory. London: Islamic Research Press.
Ibn Kathir, I. (2003). Tafsir al-Qur'an al-Azim. Riyadh: Darussalam.
Al-Shafi’i, M. (n.d.). Al-Risala. Cairo: Dar al-Turath.
Kamali, M. H. (2008). Principles of Islamic Jurisprudence. Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers.
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Comments

Recent

About Me

Foto saya
Kita tidak akan mendapatkan hasil berbeda, jika tetap melakukan hal yang sama...

Bottom Ad [Post Page]

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Full width home advertisement