Cinta yang sejati tidak menuntut untuk memilih antara Tuhan dan manusia. Cinta sejati justru akan menuntun manusia untuk semakin dekat dengan Tuhannya, tanpa harus menghapus cinta kepada sesamanya.
---
“Sesungguhnya Allah mewasiatkan padamu untuk berbakti pada kedua orang tuamu, dan aku adalah ibumu. Saya perintahkan padamu untuk keluar dari Islam!”
Itu bukan ancaman biasa. Itu jeritan cinta yang terluka. Dan bagi sang anak, itu bukan sekadar pilihan antara dua hal—tapi dua dunia: satu yang melahirkannya, dan satu yang memberinya iman.
Dialah Sa’ad bin Abi Waqqash, sahabat Rasulullah SAW, yang saat itu masih muda, baru meraba makna hidayah. Tapi ketika sang ibu mengancam nyawanya sendiri demi memaksanya kembali ke jahiliyyah, hatinya terbelah. Ia menangis. Ia mohon agar ibunya makan. Tapi ia juga tahu, ini adalah saatnya menegakkan cinta di antara banyak pilihan.
Lalu Sa’ad berkata, dalam linangan air mata:
“Wahai Ibu, seandainya Ibu punya seratus nyawa, dan semuanya keluar satu per satu di hadapanku, aku tetap tidak akan meninggalkan Islam.”
Ibunya terdiam. Ia tahu, keimanan anaknya bukan sebatas angin yang bisa ditiup kembali. Dan Allah pun menurunkan ayat dalam Surah Luqman ayat 15, yang menegaskan bahwa meskipun orang tua punya hak yang agung, tidak boleh ada ketaatan kepada mereka dalam perkara maksiat kepada-Nya. Tapi, bahkan dalam penolakan itupun, Allah memerintahkan "wa shāhib-humā fid-dunyā ma'rūfā", tetaplah perlakukan mereka dengan cara yang baik di dunia.
Bukan karena dia tak cinta. Tapi justru karena cinta itulah, dia ingin ibunya suatu hari turut diselamatkan oleh cahaya yang kini sedang menerangi jiwanya.
***
Cerita ini, meski terjadi 1400 tahun lalu, tak pernah benar-benar usang. Di zaman ini, banyak yang berdiri di tempat yang sama seperti Sa’ad. Tak sedikit saudara kita, ketika menemukan iman, harus kehilangan keluarga. Ditolak ayah, diusir ibu, dijauhi saudara. Mereka bukan pembangkang, bukan anak durhaka. Tapi mereka sedang jatuh cinta kepada kebenaran yang tak bisa mereka dustakan.
Di sinilah luka terdalam umat hari ini tersembunyi: pada mereka yang harus memilih antara pelukan orang tua dan panggilan langit. Mereka yang diam-diam menangis di balik sajadah, karena tidak bisa menceritakan luka itu pada siapa-siapa.
Dan di tengah pusaran emosi itu, mereka tetap bertahan. Bukan karena membenci keluarga, justru karena mereka begitu cinta. Tapi mereka lebih mencintai Allah. Mereka ingin menjadi lentera. Kadang itu artinya harus menjauh dulu agar bisa menyala. Agar suatu hari, ketika cahaya mereka cukup terang, mereka bisa pulang.
Karena cinta yang sejati tidak menuntut untuk memilih antara Tuhan dan manusia. Cinta sejati justru akan menuntun manusia untuk semakin dekat dengan Tuhannya, tanpa harus menghapus cinta kepada sesamanya.
Maka bila hari ini engkau merasa sendiri karena memilih jalan iman, ketahuilah: engkau sedang melanjutkan jejak langkah para sahabat. Dan Allah sedang menulis ceritamu, sebagaimana Ia menulis kisah Sa’ad, Bilal, Sumayyah, dan semua yang tetap setia di bawah hujan ujian.
Sebab pada akhirnya, cinta yang paling tinggi adalah cinta yang tidak menjadikan Allah sebagai pilihan kedua.