---
Debu masih beterbangan, angin gurun membawa sisa aroma perang. Matahari menggantung rendah di langit, cahayanya berkilau di bilah pedang yang belum sepenuhnya kering dari peluh perjuangan. Perang Khandaq baru saja berlalu, namun nafas lega itu belum sempat sepenuhnya dirasakan.
Di tengah ketenangan yang semu, Jibril datang menyampaikan wahyu kepada Rasulullah ﷺ. Pesan itu jelas dan tegas; segera menuju Bani Quraizhah. Mereka, kaum Yahudi yang pernah terikat perjanjian damai, telah mengkhianati dan berpaling, bersekongkol dengan musuh untuk mengguncang Madinah. Tidak ada waktu untuk bersantai, tidak ada ruang untuk ragu.
Rasulullah ﷺ memerintahkan pasukan untuk bergegas, suara beliau menggema, penuh ketegasan: "Janganlah salah seorang di antara kalian melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah." (HR. Bukhari)
Pasukan bergerak, derap kaki menyatu dengan suara angin, wajah-wajah yang masih lelah kembali tegang. Tetapi di tengah semangat yang membara, perintah itu menjadi tanya. Sebagian sahabat memahami dengan sangat tekstual. Mereka bertekad tidak akan shalat Ashar kecuali telah tiba di Bani Quraizhah, walau bayang senja hampir menyentuh cakrawala.
Namun, sebagian yang lain memahami dengan makna yang lebih luas. Bagi mereka, pesan itu adalah dorongan untuk bergegas, bukan larangan mutlak. Mereka berhenti sejenak di tengah perjalanan, menunaikan shalat Ashar agar tidak melewati waktunya, lalu kembali melanjutkan perjalanan dengan langkah yang tergesa.
Dan ketika kedua kelompok itu kembali dan kisah mereka sampai di hadapan Rasulullah ﷺ, beliau tidak mencela salah satu pun dari mereka. Tidak ada kemarahan, tidak ada teguran. Hanya senyum kebijaksanaan yang menghapus segala keraguan.
Dari kisah itu, tersingkap sebuah rahasia besar tentang ketulusan dan kebijaksanaan. Bahwa dalam satu perintah yang sama, ada keberanian untuk berbeda, namun tetap dalam harmoni. Ada yang memahami secara tekstual, melangkah tanpa jeda hingga batas waktu hampir terlewati. Ada pula yang memahami secara kontekstual, berhenti sejenak untuk menunaikan kewajiban, lalu melanjutkan perjalanan.
Namun apa yang terlihat sebagai perbedaan, sejatinya adalah warna-warni pemahaman yang dibingkai oleh satu tujuan; taat kepada Rasulullah ﷺ. Tak ada pertikaian yang muncul, tak ada cemoohan yang terucap. Ketika mereka kembali dan menyampaikan perbedaan itu, Rasulullah ﷺ mendengarkan, tersenyum, dan tak mencela. Sebab di balik perbedaan itu ada ketulusan, ada upaya memahami kehendak sang Nabi, ada cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Di sinilah letak kebesaran hati yang sejati. Bahwa perbedaan bukanlah dinding yang memisahkan, tetapi jendela yang mengajarkan kita untuk memahami dari sudut pandang yang lain. Sebagaimana para sahabat yang berbeda pendapat namun tetap berpelukan sebagai saudara.
Hidup adalah perjalanan panjang dengan beragam persimpangan. Kadang kita harus memilih antara jalan yang tampak benar dan jalan yang terasa benar. Kadang, kita harus menerima bahwa ada kebenaran yang lebih dari satu. Dan ketika ada yang berbeda dengan kita, bukan berarti mereka salah. Bisa jadi mereka juga sedang berjalan menuju cahaya yang sama, hanya dari sudut yang berbeda.
Kisah ini bukan sekadar sejarah, tetapi cermin. Cermin bagi kita yang sering terperangkap dalam perdebatan tanpa ujung, yang lupa bahwa cinta dan ketulusan jauh lebih mulia daripada sekadar memenangkan argumen.