(Refleksi tentang Toleransi dalam Sorotan Al-Qur’an)
Ada luka yang tak tertulis, ketika lidah-lidah menajamkan hujatan atas apa yang mereka tidak mengerti. Sebagian manusia merasa membela kebenaran, tetapi lupa bahwa langit tidak meminta dibela dengan kemarahan. Di tengah semangat menegakkan agama, terkadang terselip bara yang menyulut api permusuhan.
Ayat ini bukan sekadar larangan. Ia adalah pesan langit tentang keadaban beragama. Bahwa dalam dakwah, bukan hanya isi yang penting, tetapi juga cara. Bahwa dalam kebenaran, harus ada kelembutan. Dan bahwa Allah yang Mahakuasa pun melarang manusia mencederai keyakinan orang lain, karena setiap ejekan akan menumbuhkan ejekan, setiap penghinaan akan menumbuhkan dendam. Dan dari dendam, akan tumbuh kebencian.
Jika terhadap mereka yang menyembah selain Allah saja kita diperintahkan untuk menjaga lisan, maka bagaimana mungkin kita menghalalkan kebencian kepada saudara seiman hanya karena berbeda sudut pandang? Bila kepada yang berbeda Tuhan saja kita harus menahan cela, maka kepada yang menghadap kiblat yang sama, mengucap syahadat yang sama, seharusnya lebih lembut lagi tangan dan tutur kita.
Toleransi bukan berarti menyetujui semua hal. Tapi ia adalah seni menahan diri agar cahaya tetap menyala di tengah kegelapan. Ia adalah kesadaran, bahwa jika lidah tak dijaga, maka wajah agama akan rusak bukan karena musuh, tetapi karena perilaku para pembelanya. Maka, siapa yang benar-benar mencintai Tuhannya, hendaklah ia mencintai cara-Nya menuntun hamba. Dan Al-Qur’an telah menunjukkan jalannya.